Category: Dokter


Belajar di FK

Menunggu itu membosankan. Servis mobil itu menunggu. Dua premis itu kesimpulannya: servis mobil itu membosankan. Hehe… maklum baru minggu kemarin menjalani tes potensi akademik. Soal-soalnya model seperti itu.

Nah sembari menunggu mobil diservis, saya ingin berbagi tentang teknik sederhana untuk memudahkan belajar. Sebagian saya lakukan, sebagian saya adopsi dari mengamati cara belajar teman-teman yang nilai-nilai ujiannya sering tidak terjangkau oleh nalar. Hehe…

Kita mulai yaa…

  • Pertama. Mencatat. Buat catatan. Buat gambar, diagram, mindmap, apapun. Pokoknya jangan tidak menulis. Membaca materi dan menghapal itu memang penting, tapi gerakan tangan saat menulis dan menggambar juga punya porsi sendiri dalam akun memori otak kita. Mencatat saat kuliah, bagus. Asal kecepatan menulis kita juga bagus. Kalau tidak, tentu akan sering ketinggalan. Buat saya yang punya kecepatan menulis yang standar, biasanya saya print dulu materi kuliah (bisa dapat dari kakak kelas, misalkan), ketika kuliah, tinggal coret-coret deh.

 

Tulisan ini untuk adik-adik Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya angkatan 2009 yang baruuu saja menjalani yudisium. Apa sih yudisium itu?

Di FKUB, kami menjalani dua kali yudisium. Yudisium pertama adalah pengesahan gelar Sarjana Kedokteran, [S. Ked] di belakang nama kami. Yudisium kedua adalah pengesahan gelar Dokter, [dr.] di depan nama kami. Yudisium ini berbeda dengan wisuda. Wisuda bersifat pelepasan dari institusi, artinya kami bukan mahasiswa lagi. Sementara yudisium, hanya pengesahan gelar, dimana kami masih berstatus mahasiswa.

Lha ini malah nulis tentang yudisium. Sebenarnya mau nulis apa ini Dok?

Hehe… Kali ini saya ingin menulis sekaligus memberi pesan untuk adik-adik yang baru saja yudisium. Tentang amnesia. Hilang ingatan. Tapi amnesia ini yang sering terjadi pada mahasiswa kedokteran. Amnesia fisiologis. Amnesia karena banyaknya data yang dimasukkan dalam otak kita.

Continue reading

Dialog Dokter-Pasien

Suatu ketika, bidan saya di Udanawu bertanya: ‘Dokter, bibi saya ini masuk rumah sakit. Demam sudah 4 hari, Dokter. Tapi semua hasil lab normal. Kok ndak dibolehin pulang ya Dok?’

Untuk yang belum jadi dokter sekalipun, pasti akan menemui konsultasi-konsultasi seperti ini. Dan percayalah, sangat sulit bagi kita untuk menolak konsultasi dadakan model begini. Maka seringkali kita mengiyakan, bahkan kadang memberi opini medis, padahal kita tidak berkompeten.

Kok?

Ya karena kita tidak memeriksa pasien. Dan setiap dokter selalu memiliki alasannya sendiri yang harus kita hargai atas rencana diagnosis, rencana terapi, dan sebagainya. Sebagai ilustrasi:

‘Dok, om saya sudah seminggu ini tidak boleh pulang. Beliau kata dokter kena stroke. Lha sekarang sudah sembuh, sudah bisa jalan, bicara juga sudah lumayan. Kan harusnya bisa rawat jalan aja. Sudah tiga minggu Dok di rumah sakit, biayanya cukup terasa buat kami’

Dokter: hemm… menurut saya omnya sudah bisa pulang. Kondisinya sudah bagus itu. Coba minta pulang lagi ke dokternya.

Continue reading

Ini nih. Saya sedang pengen nulis ringan. Mau cerita tentang pengalaman dua tahun lebih praktik sebagai dokter. Cih, baru juga dua tahun, Dok. Hehehe… ndak papa lah ya… kan namanya juga bagi pengalaman. Sedikit memang, yang penting berbagi. Oh ya, kali aja ada yang belum tahu, saya praktik di dua tempat lho selama dua tahun ini.

Setelah lulus dokter (Agustus 2011), saya menjadi dokter tetap di klinik rawat inap di Desa Udanawu, Blitar. Ada yang tahu? Ini desa di ujung Blitar berbatasan dengan Kediri, sangat terisolir menurut saya, dimana untuk beli koran saja, saya harus naik motor dulu 10 km ke Srengat, Blitar atau ke luar kota, ke Kediri, malah cuma 3 km. Saya bertahan sampai dengan Agustus 2012, saya resign tepat saat saya mulai bertugas sebagai dosen di FK Universitas Brawijaya.

Nopember 2011, saya mulai mengisi klinik YDSF-BSMI Malang sampai sekarang. Nah mau cerita apa sih, Dok? Selama praktik, banyak pengalaman berkesan. Ini yang mau saya share.

1. Udanawu. Bukan dibayar dengan buah, tapi sering dikirim buah hasil ladang pasien. Rambutan, mangga, jambu, buah naga, dan… kesemek! Ha. Baru kali itu saya makan buah kesemek yang sering muncul di serial Doraemon. Haha…

2. Udanawu. Pernah saya libur praktik karena pelesir caving ke Goa Jomblang selama 5 hari. Sepulangnya pelesir, perawat dan bidan bilang: Dokter, banyak dicariin pasien lho. Saya: lha kan ada dokter pengganti, mbak. Perawat-bidan: pasiennya maunya diperiksa sama dokter yang berewokan. Ya dokter Dicky lah. Saya: -___-

Continue reading

Dokter itu wajib mengasah rasa.

Apa itu Dok mengasah rasa?

Hehe… para rekan pembaca sekalian. Mau menyapa dulu ah… Yang masih belajar di kampus, angkat tangaaan? Yang koass, manaaa? Kalau yang sudah dokter, suaranya manaaaa? Berasa konser aja… hehee…

Sebelum mulai, mau nanya dulu nih. Kira-kira yang sudah dapat pengalaman dengan kematian siapa yaa… gimana? Gimana rasanya? Kematian di klinik dengan fasilitas minim? Kematian di puskesmas PTT? Kematian di bangsal rumah sakit yang kapasitasnya puluhan pasien? Kematian pasien home visite? Kematian pasien VIP di pavilyun?

Semua kematian itu, kawan, kian sering, apakah kian biasa? Kian tidak berkesan? Pada akhirnya, kematian hanya seperti bunyi bising motor modifikasi, berisik, keras, menyakitkan sebentar, lalu wusss… hilang.

Continue reading

Cado Cado Series

Haha… Ayo, siapa yang berani menjawab ajakan saya di judul postingan ini dengan jawaban: YUK!!

Hehe… Apa kaitannya tho Dok? Wong mau nge-review kok malah diajak koass lagi.

Tapi begitulah kesan saya setelah membaca Cado-Cado (Catatan Dodol Calon Dokter) karya Bang Ferdiriva. Saya seolah diajak mengenang, tersenyum, bahkan juga ikut trenyuh dengan membaca pengalaman-pengalaman beliau sebagai koass bertahun-tahun yang lalu. Lantas, yang terbersit, mau koass lagi ndak  yaa… jawabannya: Nggak.

Koass memang selalu manis untuk dikenang. Tapi tidak untuk diulang.

Continue reading

Dokter Itu Karakter

Beberapa pekan sebelumnya, saya berkesempatan menjadi tutor modul skill. Kali ini tentang history taking. Karena materi ini diberikan kepada mahasiswa semester satu, maka di awal, saya mengawali tutorial kali itu dengan sebuah pesan, bahwa menghafal checklist itu perlu. Wajib bahkan. Tetapi yang paling penting adalah bagaimana keluwesan kita dalam “menanya-nanyai” pasien. Bagaimana pasien tidak merasa di-‘interogasi’ oleh dokternya.

Seperti biasa, saya me-review secara keseluruhan dan men-‘coba’ beberapa mahasiswa untuk role play dengan saya sebagai pasien. Terlihat beberapa canggung bahkan sambil tersenyum bingung. Setelah mahasiswa saya lepas untuk mandiri role play, semakin terlihat kebingungan dan kecanggungan. Kalimat-kalimat bernada diktasi, seperti membaca urutan checklist, banyak jeda untuk recall –pertanyaan apa lagi yang belum saya tanyakan, apa pertanyaan saya sudah cukup, apakah pasien nyaman.

Setelah kami diskusi, muncul sebuah keluhan. Betapa sulitnya memposisikan diri sebagai dokter. Saya tersenyum.

“Dok, menanyakan pertanyaan standar saja begitu susah. Bagaimana kalau pasien dengan penyakit seksual yang mungkin semakin tidak mau terang-terangan menjelaskan kondisi sakitnya?”

Continue reading

Asuransi, Solusi?

“Maaf. Kami tidak melayani pasien jamkesda.” 

Pernah kolega sejawat mendapat respon seperti ini?
Belum pernah?
Mungkin bagi sebagian yang bekerja di kota besar, dimana masyarakatnya adalah kalangan berkecukupan, kolega sejawat belum pernah mendengar respon seperti ini.

Respon ini saya dapat ketika saya harus merujuk pasien dengan riwayat kecelakaan lalu lintas. Pasien saya adalah pejalan kaki, laki-laki berusia 63 tahun. Sepulang dari kenduren beliau ditabrak pesepeda motor berusia 13 tahun.

Beliau datang malam dengan kondisi yang baik-baik saja. Namun sesuai prosedur semua riwayat cedera kepala harus diobservasi minimal 24 jam. Dan beliau kami observasi di klinik. Keesokan paginya, kesadaran pasien turun drastis. Refleks kornea dan pupil negatif. Saya segera KIE pasien untuk rujuk ke RSUD kota terdekat, lebih dari 20 km dari lokasi klinik kami.

Respon pertama keluarga pasien, “kami tidak punya uang, Dok.”

Maka salah satu keluarga berkeliling cari hutang untuk biaya CT-Scan. Saya tahu, RSUD kota tidak memiliki CT-Scan, dan dari pengalaman, pasien yang datang tanpa CT-Scan akan dikirim dengan ambulans RSUD kota untuk CT-Scan di laboratorium swasta. Akan buang waktu dan biaya ambulans akan dobel. Saya jelaskan dan keluarga pasien setuju untuk CT-Scan. Biaya ambulans klinik untuk sementara klinik yang menanggungnya. Saya telpon RSUD kota. Dan respon di atas lah yang saya dapatkan.

Continue reading

Karl Menninger, a well known American psychiatrist, had many conceptualizations regarding the mentally ill and treating them. Amongst them, was the concept that when it comes to treating our patients, our goal should be to “care” for them, rather than to “cure” them. He believed this approach to be valid for both psychiatric and medical patients.

Kesan pertama saya terhadap statement di atas adalah: WOW. Karena saya menemukan jawaban atas ke-galau-an saya beberapa saat lalu. Tentang profesi saya. Tentang bagaimana saya terhadap profesi ini.

Dokter memang memiliki tujuan utama menyembuhkan. Cure. Kita belajar empat tahun plus dua tahun di fakultas kedokteran. Belajar apa? Menyembuhkan penyakit. Kita belajar anatomi fisiologi biokimia untuk memahami how human body works. Lantas kita belajar patologi, dan berbagai macam penyakit klinis berdasarkan sistem, anatomi, untuk menyembuhkannya. Kita harus tahu how to diagnose, apa obatnya, dan bagaimana serta ke siapa merujuknya. Residen atau PPDS? Sama. Kita diajarkan bahwa tugas utama kita, tujuan utama kita, adalah melenyapkan disease. Mengobati sakit fisik pasien. To cure patient.

Continue reading

Kesempatan Kedua

“Dokter… ada adiknya bu Y di depan ingin konsultasi. Karena bu Y katanya masih muntah-muntah, Dok.” — Bidan saya memanggil saya.

Saat itu saya sedang bersantai di ruang tengah klinik. Bidan saya datang dan memanggil saya untuk menemui adik dari bu Y. Saya terkesiap. Ya Allah. Kenapa lagi dengan bu Y.

Sembari berjalan menuju ruang terima pasien di depan, saya mengingat kasus bu Y, 29 tahun, menderita hiperemesis gravidarum. Beliau hamil anak ketiga dengan usia kehamilan 8-10 minggu. Bu Y mual muntah selama hampir satu bulan. Bahkan riwayat anak pertama, beliau mual muntah selama tiga bulan. Saya berjalan sambil me-review kondisi pasien yang sempat saya rawat inap-kan selama dua hari dan sudah sangat membaik. Kenapa?

“Dokter, anak saya masih batuk. Bahkan lendirnya semakin kental dan sulit dibatukkan. Obat yang kemarin dari dokter sudah habis, Dok. Kira-kira kenapa anak saya, Dok?”

Pernahkah teman sejawat merasakan hal yang sama? Bahwa kita merasa gagal dalam menangani pasien. Bahwa kita terus mencari apa yang salah atau apa yang kurang. Lantas ada salah satu ingatan saya muncul pada sebuah wejangan supervisor ketika saya koass.

Continue reading