Archive for May, 2014


Inggris, Ilusi Sophia

Tercenung aku menatap layar ponselku. Sebuah hashtag yang mengusikku. #InggrisGratis. Ah Inggris. Inggris merupakan antithesis dalam kehidupanku. Aku ingin tapi pun tidak ingin. Benakku menolak kata Inggris. Tapi sebesar penolakan itu pula hasratku untuk ingin mencari tahu lebih banyak.

Semua gara-gara akun selebtwitter itu. @aMrazing. Dia yang sepertinya meluncurkan ide gila ini. Ke Inggris gratis selama 9 hari. Dan rasanya 9 hari itu cukup memberiku jawaban. Akan ada banyak blank spot dalam hidupku dapat terjawab. Hatiku terus menimbang-nimbang. Siapkah aku untuk menerima kenyataan? Siapkah aku untuk segala konsekuensinya? Termasuk… hilang?

Bagaimana dengan Jo? Dia pasti tidak setuju. Kalau Devita… dia harus tahu. Dan kalaupun aku harus ikut kompetisi ini, Devita-lah yang akan mengikutinya.

“Letakkan dahulu ponselmu. Lanjutkan latihannya.” Ibuku mengingatkan dari dapur. Ah beliau selalu tahu kalau aku menyempatkan menjelajah lini masa twitter di tengah-tengah latihan pianoku.

“Baik, Bu. Ngetwit satuuu lagi aja Bu…” balasku sambil segera mengetik sebuah tweet. Aku tidak berani berbicara langsung dengan Devita tentang ini. Reaksinya tidak bisa kuprediksi. Biarlah lewat twitter saja.

@devita13 devi, coba buka link ini, dan pikirkan. Ini kesempatan langka dan kita harus mengejarnya… http://misterpotato.co.id/ – 15:12, 27 May 2014

Dan kulanjutkan latihan pianoku. Kubiarkan jemariku melayang dan menari di atas tuts piano sembari membayangkan Inggris dan sebuah kenangan di masa lalu. Kumainkan lagu Yesterday milik Beatles dan bersenandung…

Why he… had to go I don’t know! He wouldn’t say…

I said… something wrong! Now I long for yesterday…

*** Continue reading

Tunggu Rama, Maryam

“Rama… terima kasih.” Sahut perempuan berkerudung yang paling cantik sedunia di layar laptopku. Sayang, matanya sedang berkaca-kaca sehingga bahkan aku tidak tahan meneruskan pembicaraan ini. Kuputuskan untuk segera mengakhiri percakapan.

“Bunda, Rama ngantuk. Titip salam kecup untuk Maryam ya…” ucapku lirih.

Seakan memahami yang kurasakan, perempuan itu membalas, “Nanti akan bunda sampaikan. Rama jangan capek-capek ya. Diminum jinten hitamnya. Biar nggak mudah sakit. Bunda off dulu ya Rama. Masih harus menyelesaikan bab dua nih.” Ah istriku memang selalu cerewet tentang segala hal yang berkaitan dengan kesehatanku. Bahkan di tengah kesedihannya pun yang dia ingat selalu aku yang malas minum obat. Dia sering mengingatkan untuk minum suplemen kesehatan yang berjejer rapi di meja kerjaku. “Rama ini dokter tapi kok gampang sakit.” Katanya suatu ketika.

“Oke Bunda. Assalamu’alaykum…” ujarku yang dibalas salam lembut.

Aaahhh… Perlahan kupejamkan mataku sembari menyandarkan punggung. Aku lelah. Lelah dengan berbagai tugas di Rumah Sakit. Lelah dengan berbagai masalah di bisnis kulinerku. Lelah dengan kerinduanku yang tak kunjung surut pada istriku, Dewi, dan tentu saja buah hati kami, Maryam.

Sambil terpejam, aku mengingat momen satu setengah tahun yang lalu…

***

“Rama… Alhamdulillaaah… Bunda diterima!!” Itulah kalimat istriku pertama kali di telpon siang itu. Teriakan lebih tepatnya. Mendung seketika sirna oleh kebahagiaan yang terpancar dari deretan cerita istriku selanjutnya.

“Jadi ya Rama… barusan Bunda tes wawancara. Yang wawancara Pak Agus, Kepala Jurusan Biologi. Pak Agus yang dulu ngasi rekomendasi buat Bunda S2 ke IPB Rama. Bayangin aja Rama, bukannya wawancara kita malah ngobrol lho. Alhamdulillah dimudahkan sama Allah. Habis itu Pak Agus langsung bilang kalau Bunda diterima jadi dosen. Meski mungkin menunggu pengumuman resmi sih.” Cerocos istriku.

Continue reading