“I know ECMO settings, I don’t know how to treat a painful wrist.” – Resident

Ah sudah lama sekali tidak posting blog. Maklum, sedang banyak aktifitas (atau sok sibuk? Hehe…). Nah sembari menunggu mobil saya dicuci, markimen. Mari kita menulis. Hehe…

Hari ini adik-adik tingkat saya mengikuti Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI). Mau jadi dokter itu capek ya. Sekolah untuk dapat Sarjana Kedokteran itu empat tahun. Isinya kuliah praktikum penelitian dan ujian. Setelah itu koass atau dokter muda di Rumah Sakit. Dengan siklus masing-masing bagian (lab/SMF) minor/kecil kisaran empat-enam minggu maka kita juga ujian tiap empat-enam minggu. Dalam satu lab kadang tidak hanya ujian satu kali, bisa sampai tiga kali. Wow! Ujian terus. Dan setelah lulus, kita ujian lagi untuk dapat Surat Tanda Registrasi. Artinya kita dianggap kompeten sebagai dokter dan siap berpraktik mengamalkan ilmu.

Tetapi, benarkah kita siap? Nah inilah pertanyaan besarnya. Saya mau sharing sedikit.

Pasien pertama saya adalah pasien batuk pilek. Sederhana, bukan? Tapi pernah kah kita mendapat pasien batuk pilek selama menjalani pendidikan profesi? Sangat jarang bahkan tidak pernah.

Batuk Pilek memiliki spektrum diagnosis yang sangat luas. Pada spektrum diagnosis yang paling sederhana, mungkin hanya batuk pilek yang disebabkan infeksi virus. Atau mungkin hanya karena perubahan cuaca. Tetapi pada spektrum yang paling kompleks bisa juga mengarah pada keganasan nasofaring. Wow! Lantas apa yang harus kita lakukan? Haruskah pemeriksaan lengkap kita lakukan? Semua pemeriksaan laboratorium, rontgen?

Kita memang tidak diajarkan secara spesifik menangani penyakit-penyakit remeh. Common things being common. Apalagi kita memang fokus pada pendidikan di Rumah Sakit, maka sebagian besar tipe pasien yang kita hadapi adalah pasien rawat inap.

Lantas bagaimana dong?

Penyakit remeh tetaplah harus dihargai sebagai sebuah kondisi patologis dalam tubuh pasien secara holistik. Maka prosedur pasti dan harus tetap sama. Anamnesis yang teliti. Pemeriksaan fisik yang baik. Maka kita tidak meremehkan meski tanda dan gejala penyakit pada pasien adalah remeh.

“Dokter saya batuk pilek.”

Sejak kapan pak? Ada dahaknya?

“Sudah seminggu Dok. Tapi sudah sering begini Dok. Sudah lebih dari setahun.”

“Oooh. Iya pak. Ini saya kasih resep. Dihabiskan ya pak.”

Kadang kita menemui dokter yang mungkin karena lelah atau karena sudah sangat berpengalaman sehingga hanya dengan sedikit percakapan dokter mampu merumuskan diagnosis dan terapi. Saya sendiri kadang malas untuk melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan baik. Terutama bila banyak pasien antri. Tetapi sebaiknya kita tidak menganggap remeh.

Lantas apa kita memang tidak perlu belajar penyakit-penyakit ringan seperti flu atau bahkan masuk angin?

Kita belajar banyak ilmu medis. Anatomi, fisiologi, patologi, dan farmakologi adalah ilmu-ilmu medis dasar yang sangat berperan dalam penanganan hampir semua penyakit dalam tubuh manusia. Karena pemahaman semua penyakit berdasarkan keilmuan ini. Maka bila kita memahami benar konsep ilmu dasar ini, dapat menjadi dasar diagnosis dan penanganan terhadap pasien.

Tetapi kalau di Rumah Sakit?

Di Rumah Sakit adalah saatnya kita mengumpulkan data agar kita siap dengan pilihan-pilihan differential diagnosis. Seperti yang saya sampaikan di awal, batuk pilek memiliki spektrum diagnosis yang sangat luas. Apa yang harus kita tanyakan, bagaimana pemeriksaan fisik kita, pemeriksaan penunjang apa yang kita pilih sehingga satu demi satu pilihan diagnosis berkurang dan spektrum semakin sempit.

Memang itu hanya sekedar batuk pilek. Tetapi salah satu spektrum misalnya TBC. Bagaimana bila kita tidak tahu tentang TBC? Kita harus tahu apa tanda dan gejala patognomonisnya. Intinya kita harus menguasai TBC. Dan itu baru satu spektrum. Batuk pilek mungkin bisa memiliki 5-10 spektrum. Dan kita harus menguasai semuanya.

Itu masih batuk pilek. Belum lagi ada pusing. Atau nyeri pergelangan tangan. Masuk angin.

Jadi dokter umum itu memang sangat pandai. Hehe…