Saya bukan pendukung Pak Jokowi. Tetapi tulisan ini, tulisan yang lahir dari seorang Indra Jaya Piliang, menerbitkan optimisme.

Karena setidaknya, ada orang-orang di sekitar Pak Jokowi yang masih setia dengan idealismenya, terus mengasah pemikiran trengginasnya, tidak pernah mematikan impian-impian besarnya, dan (tentu saja) tidak diam.

Karena justru saat ini, yang pantas dan mampu untuk berperan, mayoritas berada dalam (meminjam istilah Bang Indra) fase apatis dan apolitis.

Semoga Pak Jokowi membaca, merenungkan, dan bergerak.

http://m.indrapiliang.com/2014/10/09/surat-terbuka-untuk-jokowi-tentang-mimpi-generasi-usia-40-an-tahun/

 

Surat Terbuka untuk Jokowi:
Tentang Mimpi Generasi Usia 40-an Tahun

Assalamu’alaikum Wr Wb

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya hormati

Izinkan saya mengirimkan surat terbuka ini kepada Bapak. Perlu saya sampaikan, walau menjadi bagian dari Dewan Pakar Jenggala Center dan Poros Indonesia Muda, saya jarang bertemu Bapak. Kita hanya pernah bertemu dalam empat kali kesempatan, yakni dalam acara Deklarasi Damai yang diadakan KPU, di Media Center Jokowi-JK, di atas kapal Phinisi Hati Buana Setia di pelabuhan Sunda Kelapa dan pembubaran Tim Jenggala Center. Saya tidak merasa berkepentingan untuk berada di dekat Bapak, mengingat luasnya area kampanye dan kesibukan Bapak.

Usai Pilpres, saya juga tidak merasa harus mendekati Bapak. Bahkan saya mengkritik keras rencana pembentukan Tim Transisi. Argumen-argumen saya sudah jelas, yakni Tim Transisi itu tidak dikenal dalam sistem suksesi yang ada di Indonesia yang mengenal fixed term (siklus lima tahunan, dalam bahasa Lemhannas). Saya justru melihat ada potensi kebuntuan politik, akibat jarak yang dimunculkan ke pelbagai pihak dengan keberadaan Tim Super itu.

Walau akhirnya Bapak memutuskan meresmikan tim itu, tentu Bapak sudah memiliki parameter tersendiri untuk menilai sukses tidaknya. Saya justru melihat sebaliknya, akibat kesibukan Bapak dengan Tim Transisi itu, kerja-kerja politik pasca Pilpres menjadi terabaikan yang berbuah pada sentimen yang diputar tentang kekalahan demi kekalahan yang terjadi di DPR RI dan MPR RI.

Karena memang tidak memiliki jalur khusus, mengingat waktu yang makin terbatas, yakni tinggal sepuluh hari, saya memberanikan diri untuk menulis surat terbuka ini. Barangkali surat ini masih berguna suatu hari nanti sebagai catatan sejarah saja.

Pak Joko Widodo (Jokowi) yang saya muliakan

Saya sudah membaca sejumlah nama calon menteri dalam “Kabinet Trisakti” Joko Widodo (Jokowi) yang muncul ke permukaan. Siapapun nama itu tidaklah penting. Begitupula latar belakang politik mereka. Hanya saja, sebagai bagian dari bentuk kepedulian, saya perlu sampaikan tentang hal-hal sebagai berikut.

Pertama, sebutan profesional, baik murni ataupun partai politik, sebaiknya dihindari. Dalam literatur manapun, menteri adalah jabatan politik, bukan jabatan bagi kalangan profesional atau birokrasi murni. Menteri bisa dipecat kapan saja oleh presiden. Sebagai pembantu presiden, kedudukan menteri tidak lebih tinggi dari asisten rumah tangga. Apalagi kalau sampai sebutan sebagai profesional atau politisi itu salah dalam penempatan, akibat tidak mengetahui dengan detil riwayat seseorang. Sebab, tidak semua orang berani menyantumkan seluruh riwayat hidupnya untuk kepentingan setingkat menteri. Bangsa ini memang kekurangan lembaga pencatat kehidupan seseorang, terutama sedikitnya penulis biografi ataupun auto biografi yang terverifikasi.

Kedua, dalam situasi pancaroba politik domestik, regional dan internasional sekarang, menteri haruslah memiliki kesadaran yang sama dan bahkan dididik dengan cara berpikir yang mirip. Kabinet yang berisi menteri dari bermacam latar belakang sah-sah saja, asalkan berasal dari generasi yang memiliki impian-impian dan tujuan-tujuan yang sudah tertancap dalam Visi Misi Jokowi-JK. Bukankah banyak mesin birokrasi di belakang mereka? Kalau perlu, mereka berasal dari jaringan perkawanan yang sama dan lama, sehingga masing-masing mengetahui sifat, karakter, pemikiran, bahkan kekuatan dan – terutama – kelemahan menteri lain. Sudah bukan zamannya lagi seorang menteri hanya merasa bertanggungjawab kepada presiden seorang, sementara abai mengoreksi potensi kesalahan yang dilakukan rekannya yang lain.

Ketiga, menteri tidak lahir dari kisah Pilpres yang singkat. Jadi tidak ada yang disebut sebagai politik balas jasa. Alangkah celakanya bila seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan dan teruji dalam masa yang panjang, tiba-tiba dikalahkan oleh calon-calon menteri titipan hanya karena arus kepemilikan kas kampanye. Negara ini sudah terlalu dicoreng oleh kepentingan-kepentingan titipan semacam itu, sehingga berbuah dengan berhumbalangnya para menteri kabinet sebelumnya ke dalam tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan. Saya merasa, Bapak perlu memikirkan soal ini dengan sangat tenang. Letak keberhasilan Bapak bukan hanya mampu melewati periode kepemimpinan Bapak selama lima tahun, melainkan juga membawa seluruh armada yang Bapak pimpin selamat sampai di tujuan.

Keempat, apabila Bapak memang menginginkan satu kabinet kerja yang solid, militan dan tanpa berharap berbagai sematan Bintang Tanda Jasa di dadanya, sebaiknya sejak awal bapak melibatkan kalangan terdekat dari orang tersebut. Rumah masa kecil dan keluarga sang calon menteri tentulah yang perlu Bapak lihat dan injak. Bapak perlu membangun empati sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Empati itu dimulai dari tingkat yang rendah, yakni dalam kehidupan berkeluarga dan bertetangga. Apalagi dengan mudah, Bapak bisa langsung menampung keluh-kesah siapapun, termasuk dari keluarga atau tetangga calon orang kepercayaan Bapak. Dengan relawan yang setia di sekeliling Bapak, tentulah dengan mudah bisa menditeksi keberadaan orang-orang yang akan menjadi kepercayaan Bapak itu. Terus terang, saya tidak percaya dengan pelbagai sebutan nama kampus luar dan dalam negeri yang tercantum di dalam kurikulum seseorang. Ketidak-percayaan saya muncul akibat banyaknya orang-orang bergelar akademik yang pada gilirannya menjadi pasien lembaga-lembaga penegak hukum.

Kelima, siapapun yang Bapak pilih, tidak akan diingat generasi nanti. Ini adalah era pemerintahan Jokowi. Sudah Bapak ketahui betapa anak-anak sekolah sekarang sama sekali tidak hafal nama menteri. Jangankan anak-anak sekolah, saya sendiri juga tidak hafal nama-nama menteri yang ada dalam Kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua, apalah lagi yang Jilid Satu lima tahun yang lalu. Yang orang akan ingat adalah nama Bapak. Yang orang juga akan lupakan adalah nama Bapak, apabila kurang berhasil melakukan perbaikan, janganlah dulu perubahan dan lompatan besar yang spektakuler. Nama-nama menteri akan hilang dalam satu generasi ke depan, sebagaimana generasi hari ini tak ingat lagi nama-nama menteri generasi lalu.

baca selanjutnya di sini.

View on Path