Pagi ini saya terbangun sedikit terlambat. Badan yang pegal setelah akhir minggu kemarin pulang ke Malang. Selelah-lelahnya badan, bila membayangkan akan bertemu Putri tercinta, tentu tidak dirasakan. Akhirnya, setelah puas dengan bius endorfin cinta (beraktifitas mesra dengan anak), maka tibalah masa badan remuk redam.

Bermalas-malasan saya bersiap, dan berangkat menuju RSU dr. Soetomo. Pikiran saya di-setting menjalani rutinitas biasa kehidupan PPDS. Hingga saampai saya membuka notifikasi dari blog. Ada sebuah komentar yang menunggu di setujui. Komentar panjaaaaaang yang di ujung waktu, saat selesai membaca, saya terharu. Rupanya ini bukan pagi ‘rutinitas biasa’. Saya baru saja mendapat vitamin kehidupan. Berupa sebuah kisah yang sarat motivasi.

Berikut, saya sertakan tulisan komentar dari seorang Dila. Yang baru saja diterima di salah satu FK perguruan tinggi negeri. Tulisan ini saya sunting sedikit, tanpa mengurangi maupun mengubah makna. Adapun tulisan aslinya bisa dinikmati di kolom komentar artikel Jadi Dokter Itu Mudah, Masuk FK Itu (yang) Susah.

Selamat membaca…

 

Assalamualaikum Pak Dokter,

Halo pengunjung blog yang lain..

Sebenarnya sudah lama pengen bagiin pengalaman perjuangan buat masuk jurusan impian. “FK”.

Satu tahun yang lalu, saya lulus, tahun 2013. Dulu saya biasa dibilang karena keberuntungan dapat mengikuti program akselerasi waktu SMP, dan kalau tidak ikut berarti lulusnya tahun ini, tahun 2014. Cita-cita saya ada dua: pertama, dokter. Karena dari kecil saya sering main ke rumah sakit. Kedua, jadi diplomat yang bisa keliling dunia.

Tapi yang dominan pengen jadi dokter. Betapa tatapan memuja saya kepada kakak tingkat dan teman-teman saya yang lulus di FK, baik itu FK negeri/swasta atau melalui jalur apapun saya tidak pernah peduli. Seperti yang Dokter bilang sebelumnya, dari dulu, dari awal saya memasuki gerbang kelas tiga SMA, saya yakini semua yang lulus FK adalah mereka yang ‘terpilih’, apapun alasannya, apapun jalannya.

Dan jalan saya ternyata, lulus di tahun kedua saya mencoba. Dokter pasti tahu apa yang saya lakukan. Berusaha keras, setiap malam saya sempatkan membuka buku, memasang alarm, berdoa, bangun kala teman-teman saya tidur. Saya berusaha dengan keras. Meskipun belajar itu hanya buka buku dan korek-korek soal. Yang penting saya usaha, dan Allah tahu. Allah tidak tidur.

Dari tahun pertama pun, saya rasa sudah belajar dengan keras, tapi mungkin positioning-nya yang nggak tepat. Mungkin saya kurang PDKT sama yang Di Atas. Kalau saya dapet apa yang saya cita-citakan dengan mudah, mungkin saya nggak tahu caranya mendekati Allah, meminta dan berpasrah. Nggak tahu rasanya gagal, patah hati, dan nggak semangat.

Tiba tanggal ujian SBMPTN, tawakal adalah satu-satunya penguat, setidaknya kalau memang takdir saya, pasti lulus, apapun kendalanya apapun rintangannya. Saya selalu percaya ini cuma masalah waktu. Saya berasal dari keluarga yang ketat dalam pendidikan. Kami dididik untuk perjuangkan cita-cita kami. Orang tua kami selalu bilang, kami orang tua berusaha memfasilitasi kalian dalam belajar untuk menggapai cita-cita kalian, tapi tidak untuk membelikannya. Saya terkadang ingin mencoba FK swasta tapi karena prinsip, nggak boleh memaksakan kehendak saya juga. Hal ini dikarenakan papa nggak nyuruh anaknya kuliah di swasta.

Kadang iri dengen teman-teman yang boleh memilih FK swasta. Hahaha…

Jadi ketika tidak lolos, hanya satu tekad. “Coba tahun depan Dil!”

Sebenarnya saya udah lulus di beberapa institusi negeri dan tinggal milih, malah sempet dapat tawaran beasiswa ke luar negeri. Tapi saya nggak bisa. Saya takut nggak punya passion dalam menjalani hidup saya dengan profesi yang nggak ada dorongan jiwa. Alhamdulilah, Allah berkenan. Pengumuman SBMPTN, lulus di FK universitas negeri. It’s like a dream come true. Orang tua saya tersenyum bangga. “Karena kamu harus yakin dengan kemampuan kamu, Nak…” kata mereka.

Karena orang terpilih yang akan terseleksi. Karena orang yang mampu yang akan lulus. Karena orang yang punya takdir di situ. Teman-teman yang lain banyak banget yang bilang, kalau sudah masuk FK jangan berhenti. Kalian lulus karena kalian yang ditakar Allah mampu buat ngejalanin-nya. Ingat proses mendewasakan.

Yang belum lulus, ayo dekatkan diri. Pantaskan diri untuk diterima, jaga lisan, jangan menyakiti hati orang. Terkadang dosa menghambat terijabahnya doa. Dekatkan diri, dekati, jangan patah arang, terus mencoba karena kita nggak pernah tahu, usaha ke berapa yang akan berhasil.

Terkhusus Pak Dokter yang blognya saya buat untuk sharing, maaf ya. Hehe… makasih Pak Dok dan blogger lain yang dengan senang hati membuat tulisan-tulisan yang kayak gini, yang memotivasi. Dulu waktu saya terpuruk pun, saya sering googling tentang motivasi untuk terusin cita-cita jadi dokter. Makasih yang sudah baca, maaf kalau berlebihan, but it’s a journey. A journey to make your dream come true.

 

Well. Demikian kisah Dila. Tentu saya berbagi kisah ini ingin berbagi hikmah. Bahwa dalam meraih cita-cita, determinasi itu penting. Tulisan saya tentang determinasi sila dibaca. Sering sekali, determinasi inilah bagian yang hilang dari perjuangan kita. Seolah kita sudah berusaha maksimal, padahal kita lupa, banyak hal yang belum kita lakukan. Dila menceritakan semuanya dalam salah satu cerita hidupnya di atas. Bagaimana ia mengatur waktu, berusaha PDKT sama Allah. Pada dasarnya, Allah Maha Pemurah. Meski mungkin kita mendekati Allah hanya saat kita membutuhkan.

Determinasi juga dibutuhkan saat menemui rintangan. Salah satunya kegagalan. Sesungguhnya, tidak ada efek samping dari kegagalan yang diberikan Tuhan kepada kita kecuali kita yang bertambah kuat, bertambah bijak, dan lebih dekat lagi dengan-Nya. Dan Dila telah pula memberikan sedikit gambaran rasa syukurnya, menceritakan sedikit gambaran hikmah versi Dila. Saya sendiri pernah menemui kegagalan. Ketika tidak lulus Ujian Kompetensi Dokter Indonesia yang pertama. Pernah saya ceritakan di Retaker Menggugat.

Namun, para pembaca sekalian. Ada satu hal penting dalam sebuah proses. Yaitu sebuah penyerahan diri. Ada satu titik yang harus kita sadari, bahwa kita telah berbuat yang terbaik, ikhtiar tiada henti, berdoa tiada putus. Namun cita-cita tetaplah tak tercapai. Di titik ini, sejenak kita harus memandang ke belakang. Kita mencari tanda-tanda. Kita mencari petunjuk arahan Tuhan untuk kita. Kita introspeksi, bahwa benarkah ini yang terbaik untuk kita?

Maka, di titik ini kita harus belajar melepaskan. Mungkin ada cara Tuhan untuk kebermanfaatan kita di dunia ini, yang lain dengan yang kita citakan. Tidak mengapa. Ini bukan proses menyerah. Tetapi kesadaran penuh bahwa ada garis hidup yang lebih baik untuk kita yang sudah ditetapkan-Nya.

Ketika aku berdoa, dan Allah mengabulkan, maka bahagialah aku. Tetapi ketika aku berdoa, dan Allah tidak mengabulkan, maka aku lebih berbahagia. Karena Allah tahu ada yang lebih baik dari doaku. Doaku, keinginanku. Keputusan Allah, yang terbaik untukku.

Kepada Dila, terima kasih sudah berbagi kisah menginspirasi ini. Selamat menjalani kawah candradimuka. Indonesia menanti Dila. Semangat!!