Hemm…
Sembari menanti motor saya yang diservis, ayo kita bahas tentang sesuatu yang menggalaukan hati saya akhir-akhir ini. Apa itu?

Tulisan-tulisan saya tentang belajar di FK laris manis dikunjungi. Senang? Tentu saja. Tapi yang membuat saya galau adalah ternyata banyak komentar tentang betapa galaunya para pembaca. Bahwa mereka ingin masuk FK, ingin menjadi dokter, tetapi lemah di biologi, ada yang lemah di hitung-hitungan, ada yang lemah di kimia dan fisika. Ada juga yang mengatakan ingin masuk FK tapi tidak ada biaya.

Aduh saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Jujur, saya juga mengalami hal yang sama. Saya dulu masuk FK dengan harapan tidak bertemu dengan fisika. Karena saya, demi matahari pagi ini, sangat, amat, tidak paham dengan ilmu yang satu itu. Masa SMA saya lalui dengan bersusah payah untuk dapat nilai fisika yang ‘cukup’ untuk lulus. Dan memang nilai fisika saya di ujian sekolah paling rendah. Hanya dapat 6 (batas lulus 4,5).

Ngapain cerita aib sendiri, Dok?

Hehe… ini bukan aib. Saya bangga dengan segala proses yang saya jalani. Dan tentu saja agar para pembaca paham betapa mata saya menatap nanar saat mengisi kartu rencana studi untuk semester satu. Fisika Kedokteran. Dua semester. Aawww…

Jujur, saya tidak memahami materi dan retensi saya terhadap materi fisika kedokteran ini sangat jelek. Meskipun ternyata di akhir masa pendidikan saya akhirnya mengerti kenapa fisika kedokteran ternyata sangat penting.

Saya tidak suka fisika. Saya lemah di fisika. Pun saya lemah di kemampuan menghapal.

Lantas apakah saya tidak ingin menjadi dokter?

Banyak orang yang tidak menyadari hidupnya dikendalikan oleh sebuah pusaran (Loop) yang bergerak dari constraint yang satu ke constraint yang lain. Pernyataan-pernyataannya kurang lebih: “aku anak petani miskin”; “otakku ndak nyampe“; “jangan bermimpi, kita ini orang susah”; “modalnya nggak ada”; “sekolah kita bukan sekolah unggulan”. -Rhenald Kasali, dalam artikelnya berjudul Constraint based thinking di Jawa Pos (26/5/13)

Apa itu constraint? Menurut pak Rhenald Kasali, constraint berarti keterbatasan, keraguan, menyimpulkan sesuatu yang negatif. Keterbatasan pasti selalu ada. Tapi kita tidak harus tunduk dalam keterbatasan.

Lihat Singapura. Negara kecil yang penuh keterbatasan. Tidak punya sumber daya alam. Tapi justru menjadi negara maju. Kenapa? Karena mereka tahu, bahwa dalam keterbatasan itu pasti tersedia celah untuk dilewati dan dimanfaatkan.

Ah teori Dok. Emang ada buktinya?

Banyak. Saya akan angkat tentang biaya FK. Biaya FK memang mahal. Tapi sejak saya masuk FK pun, selalu ada teman yang hidup keluarganya pas-pasan tapi justru memiliki semangat juang tinggi. Mereka mendaftar beasiswa yang banyak di FK. Mereka jual jajan. Jual fotokopi textbook. Jual jasa kursus untuk anak SD, SMP, SMA. Bahkan ada yang nyambi kerja di katering.

“Pernah, Dick, suatu ketika, katering tempat aku kerja disewa oleh dokter spesialis senior. Acara mantunya beliau. Aku ya jadi pelayan di acara itu. Dan apesnya, teman-teman seangkatan ada yang datang. Walah.”

“Terus gimana, mas?”

“Mereka tanya: ngapain kamu? Aku jawab aja: lha memang keliatannya ngapain? Eh sama temanku dijawab sambil bercanda: menurutku sih kamu mbabu. Hehe…”

“Nggak malu mas?” Tanya saya miris.

“Ya malu, Dick. Tapi dari kerjaan itu aku bisa hidup seminggu. Aku pikir, untuk apa gengsi.”

Itu bukan adegan sinetron. Artinya, ketika kita bercita-cita jadi dokter, kita akan berjuang keras. Mencari celah dalam segala keterbatasan kita, untuk bisa bertahan. Begitu juga dengan senior saya itu. Setelah lulus, dua tahun bekerja, beliau bisa berangkat umroh dengan ibundanya. Dan kini dia sudah diterima sebagai PPDS anak. Calon dokter anak. Bagaimana biayanya? Yang penting masuk dulu. Biaya ada Allah dan kita tetap ikhtiar, begitu katanya.

Lihat. Maka, jawaban saya ketika ditanya: apakah saya tetap ingin menjadi dokter?

Ya. Justru saya semakin menggebu-gebu ingin menjadi dokter. Saya akan atasi masalah fisika kedokteran dan hafalan itu. Tetapi langkah pertama tentu saja: masuk FK dulu. Masuk FK itu susah. Sangat susah. Dibutuhkan pribadi terpilih untuk bisa masuk FK. Maka tugas kita jelas, bagi mereka yang ingin menjadi dokter. Memantaskan diri untuk dapat diterima di fakultas kedokteran.

Setelah kita diterima, artinya kita pantas menjadi dokter. Itu keputusan Tuhan. Bukan keputusan kita. Ingat, masuk FK itu susah. Dan kita berhasil masuk. Artinya Tuhan sudah menakar kemampuan kita bahwa kita pasti akan tiba di ujung jalan, sebagai dokter. Kita dianggap mampu menjalani praktik bedah jenazah, kita dianggap bisa melalui berbagai macam kuliah sulit. Itu tantangan langsung dari Tuhan. Diterima atau tidak? Wajib diterima dan jalani. Tapi tentu dengan ikhtiar.

Kita jangan takut bermimpi. Mempertimbangkan banyak hal itu sah-sah saja, asal jangan sampai pesimis bahkan kalah sebelum bertarung. Lawan dan hadapi.

Saat setelah masuk FK, senjata kita hanya satu, passion. Itulah semangat kita. Bahan bakar kita dalam menjalani hidup di FK. Sesulit apapun masalah kita, kalau kita begitu ingin menjadi dokter, libas semua masalah. Masuk FK itu ibarat masuk ke dalam bus penuh dengan orang. Ada yang berkecukupan. Ada yang pandai. Ada yang senang mengajari temannya. Ada yang lemah hafalan. Ada yang lemah fisika. Tapi karena bersama-sama, solusinya dicari bersama. Entah belajar bersama, atau mengubah cara belajar kita. Yang jelas kita tidak akan pernah sendirian. Kecuali kita sendiri tidak mau bergaul.

Maka, bagi para pembaca, yang kini tengah galau, tetapkan hati. Ikhtiar pantaskan diri. Lantas serahkan pada Tuhan.

Setelah diterima, baca tulisan-tulisan saya untuk para mahasiswa FK baru di First Thing First.

Lalu dobrak dinding keterbatasan kita. Incar jendela yang ada, atau celah sekecil apapun, jadikan kesempatan kita untuk berprestasi.