Ah menanti pesawat. Pesawat saya masih satu jam lagi. Jadi mari kita menulis sesuatu. Hehe… Ini adalah naskah yang sudah lama mengendap dalam draft. Terinspirasi oleh tulisan salah satu sejawat dari Amerika Serikat, saya berusaha menyajikan tulisan ini seringan mungkin.

Teman sejawat semua yang saya banggakan. Ingatkah kita akan tugas pertama kita menangani pasien sebagai dokter? Sebagai dokter yang baru saja disumpah?

Sumpah dokter menjadi momen titik balik dalam hidup kita. Kenapa? Karena itulah masa dimana tanggung jawab dokter resmi diletakkan di pundak kita. Berupa jas putih dengan segala konsekuensinya. Sumpah dokter adalah titik dimana kita tidak bisa balik badan dan menyerah menjadi dokter.

Dan yang terlintas di benak saya saat menangani pasien pertama saya adalah: “Hemm… Betapa sudah cukupkah anmnesis saya? Lengkapkah pemeriksaan saya? Benarkah diagnosis saya? Perlu ditambah obatnya? Atau malah kurang? Bagaimana kalau pasien tidak puas dengan performa saya?”

Sesuatu yang mungkin belum pernah terlintas saat kita menjalani pendidikan klinik sekalipun. Tetapi itulah yang menjadi pemikiran saya. Saya akhirnya menghabiskan hari itu dengan berpikir “Bagaimana saya bisa menjadi dokter yang lebih baik?”

Saya masih satu tahun lebih sedikit menjalani profesi dokter. Belum cukup untuk sok memberi saran dan masukan. Tetapi saya berusaha mencari apa yang bisa membuat kita terus menjadi lebih baik. Dan inilah yang bisa saya temukan dan saya rasa paling relevan dengan kondisi dunia kesehatan kita saat ini.

Saya mendapatkan 4C ini dari seorang teman sejawat. Tetapi 4C inilah yang mungkin bisa mewakili sikap ideal guru-guru kita, baik para dokter maupun pasien. 4C inilah yang diinginkan pasien untuk kita: Competency, Communication Skill, Compassion, Convenience.

Competency

Seorang anak dengan keluhan mual muntah datang ke klinik. Mengaku sudah dua minggu mengalami gejala seperti ini. Sempat rawat inap di klinik lain dan mendapat terapi antibiotik untuk infeksi usus, metronidazole. Saya cek hasil lab (hanya darah lengkap) sebelum rawat inap dan terdapat leukopeni. Kondisi pasien lemas, demam dan penurunan kesadaran.

Saya melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Saya menemukan bradikardi relatif serta bising usus meningkat. Saya jelaskan kemungkinan diagnosis dan juga beberapa pemeriksaan lab yang bisa dilakukan. Gejala yang muncul tidak jelas. Begitupun hasil lab. Tetapi saya yakin ini adalah demam tifoid. Orang tua pasien setuju untuk rawat inap dan mengikuti rekomendasi manajemen terapi saya. Dalam dua hari, kondisi membaik dengan pesat. Dan bahkan bisa pulang.

Pasien mengharapkan dokter berkompeten dalam membuat diagnosis, melaksanakan manajemen terapi, melakukan prosedur klinis, dan menindaklanjuti terapi. Tapi pasien tidak akan bisa menilai apakah benar kita berkompeten atau tidak. Itu adalah tugas kolegium profesi kita untuk memastikan bahwa dokter Indonesia berkompeten. Dan itu sudah dilakukan dengan diwajibkannya Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).

Tetapi di atas segalanya, satu sosok yang bertanggung jawab atas kompetensi kita. Siapa? Diri kita sendiri. Tanyakan: bagaimana caranya agar kita menjadi dokter yang lebih baik? Apa kita cukup kompeten menangani pasien? Sudah baca buku? Ikut seminar? Workshop? Baca jurnal terbaru? Dokter adalah long life learner. Maka jangan lelah belajar. Selalu ada ilmu baru. Dan tidak ada yang sia-sia. Semangat!!

Communication

Seorang pasien datang ke saya dengan menangis. Dia membawa selembar kertas hasil lab. Dengan terisak beliau berkata, “Dok, dokter A, SpPD bilang saya diabetes dan itu tidak bisa disembuhkan. Bagaimana ini Dok? Anak saya masih kecil-kecil.”

Saya terhenyak. Saya tidak mungkin menyangkal diagnosis spesialis. Dan mendiagnosis diabetes tidak semudah yang dibayangkan. Ada alur pemeriksaan yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis diabetes.

Yang saya pikirkan, betapa dokter sebelumnya telah menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan komunikasi, memberikan informasi yang jelas, dan mengedukasi pasien. Masyarakat kita telah begitu sering mengeluhkan kurangnya informasi yang diberikan dokter, bahwa dokter sering hanya memeriksa dan menulis resep tanpa bertanya atau menjelaskan sesuatu. Pasien lebih sering mengeluhkan kurangnya communication skill dokter.

Sebuah artikel British Medical Journal pada tahun 1998 menyatakan bahwa: individuals who rated their doctors low on communication skills were more likely to change doctors.[1]

Maka, ayo kita tingkatkan kemampuan komunikasi kita. Tanpa disadari, dokter lebih suka berinteraksi dengan pikirannya sendiri daripada dengan pasiennya. Padahal, bila dokter memiliki kemampuan komunikasi yang baik, pasien akan lebih memahami kondisi tubuhnya, situasi penyakitnya, apa yang perlu diperhatikan, mematuhi rekomendasi dokter. Hasilnya? Meningkatkan angka keberhasilan terapi dokter.

Sebuah studi pada tahun 1995 yang dimuat di Canadian Medical Association Journal [2]: The quality of communication both in the history-taking segment of the visit and during discussion of the management plan was found to influence patient health outcomes. The outcomes affected were, in descending order of frequency, emotional health, symptom resolution, function, physiologic measures (i.e., blood pressure and blood sugar level) and pain control.

(Ah, pesawat saya sudah tiba. Setelah di pesawat kita lanjutkan tulisan saya.)

Compassion

“Ibu menderita spondylosis. Berat ini. Harus operasi.”

Pasien itu bercerita kepada saya didampingi suaminya. Suaminya sangat reaktif dan bicara menimpali cerita istrinya dengan nada keras.

“Dokter itu kayak bicara sama patung. Sembarangan aja. Enteng sekali bilang harus operasi.”

Compassion biasanya saya artikan empati dalam bahasa Indonesia. Pasien selalu menginginkan empati dari kita. Pasien membutuhkan empati. Empati adalah sebuah rasa yang bisa kita asah. Bukan sebuah bakat. Dan dokter harus menguasai empati.

Salah satu cara mengasah empati kita adalah menulis dan berbagi tentang nilai-nilai kehidupan. Mengamati dunia sekitar dengan lebih cermat dan belajar tentangNya. Dokter yang memiliki banyak pengalaman menangani pasien dalam kondisi kritis dimana batas antara hidup dan mati sangat tipis, biasanya memiliki rasa empati yang lebih besar dan lebih humanis. Begitu pula dokter yang berkecimpung dalam dunia penelitian, yang mengenali kebesaran pencipta kita secara langsung melalui penelitian-penelitian mereka.

Dan empati juga bisa menurun, bahkan lenyap. Dalam sebuah studi di Amerika Serikat, dikatakan bahwa mahasiswa kedokteran mengalami penurunan empati selama mereka menjalani pendidikan di fakultas kedokteran. Bisa dibayangkan, tekanan, kelelahan, dan aura kompetisi sangat tinggi. Setiap orang ingin lebih pandai, belajar lebih keras, berlomba-lomba menjadi yang terbaik, tetapi lupa untuk memberi nutrisi pada jiwa mereka.

Tunjukkan empati kita pada pasien. Jangan terburu-buru dalam menangani pasien, terutama pada pasien-pasien spesial yang butuh edukasi lebih banyak. Bicarakan kondisi pasien dengan baik dan lengkap. Dengarkan keluhan pasien bahkan setelah kita memberi informasi kepada mereka. Dan yang sering kita lupakan, terutama pada pasien lansia, sentuhan kita sering lebih penting daripada diagnosis. Pasien hanya ingin kita memperhatikan mereka.

Convenience

Pasien mendambakan kenyamanan dalam mencari layanan kesehatan. Antrian yang tidak terlalu lama, ruang tunggu yang nyaman, asisten yang ramah. Meskipun harus diakui, pasien biasanya lebih mudah menerima kesulitan yang dialami karena membutuhkan dokter. Misal antri periksa ke dokter spesialis yang kadang baru diperiksa jam dua dini hari. Atau ambil kartu antrian hari ini untuk diperiksa besok (padahal sakitnya hari ini).
Maka usahakan untuk membuat sistem layanan kesehatan kita senyaman mungkin bagi pasien. Perhatian kita akan kenyamanan pasien akan mendapat apresiasi yang luar biasa dari pasien.

Itulah 4C yang diharapkan dimiliki seorang dokter. Beberapa puluh tahun lalu, ada satu C, Confidentiality, namun kini kerahasiaan pasien bukan lagi menjadi isu karena semua dokter memahami dan menerapkannya.

Kita tentu berharap 4C ini suatu saat tidak lagi menjadi isu karena telah menjadi sebuah ramuan wajib yang menjadi pewangi jas putih kita, dan menjadi asesoris wajib pengejawantahan sumpah dokter.

Maka, dengan 4C ini, teruslah bertanya, Bagaimana caranya agar kita menjadi dokter yang lebih baik?

(Ah, bumi Bandung telah nampak.)