A life in medicine is a peculiar one, and we who pursue its course are also peculiar.
Posting kali ini mungkin terasa sangat aneh. Dan akan menjadi lebih aneh karena yang menulis seorang dokter. Tetapi ini adalah proses otokritik terhadap saya pribadi, juga terhadap kolega-kolega saya.
Dokter itu arogan.
Wow. Benarkah? Kok bisa Dok? -sebagian reaksi-
Benar. Baru nyadar, Dok? -sebagian (besar) reaksi-
Mungkin memang benar. Tetapi ijinkan saya yang baru seumur jagung berprofesi dokter ini mencoba membaca fenomena ini dari sudut pandang saya pribadi. Dan pada akhirnya saya akan menyerahkan semua opini pada para pembaca budiman.
Bagi saya, dokter, bila dibandingkan dengan profesi lain, memiliki ego yang lebih besar. Lihatlah mereka yang telah menjadi role model dokter selama beberapa dekade terakhir, percaya diri, sukses, pencapaian besar dalam hidup. Faktor-faktor yang menyeret gairah sebagian besar anak muda untuk meraih profesi dokter. Sejak awal pendidikan, ada warisan turun-temurun yang diletakkan di pundak para calon dokter, PRIDE.
Maka kita berjuang mati-matian, setiap hari demi mencapai puncak pencapaian para calon dokter. Setiap langkah dan bagian dan tugas kita jalani. Perjuangan melalui setiap bagian di pendidikan klinik, menghadapi perawat bahkan pekarya yang telah menjalani nyaris separuh hidupnya di rumah sakit, menghadapi supervisor (dokter spesialis) dengan masing-masing gayanya. Hingga akhirnya kita menjadi dokter. Pencapaian hebat kita. Awalnya.
Namun ternyata pride yang kita sandang berubah seiring dengan pencapaian kita. Kita telah meraih keilmuan yang begitu dahsyat sehingga banyak orang yang mempercayakan hidupnya pada kita.
“Dok, lakukan apa saja asal anak saya tidak muntah lagi Dok. Saya tidak tega melihat anak saya lemas dan muntah terus menerus.”
Petikan di atas tidak saja kita hadapi sesekali, melainkan sering. Maka sampai tahap ini, bukankah kearogansian dokter menjadi terjustifikasi?
Benar. Arogansi itu dapat menjadi sebuah kepercayaan diri yang luar biasa sebagai dokter. Dan selalu ada pasien yang lebih suka dokter yang percaya diri, bahkan menuntut kearogansian dokter bila sudah terkait dengan keahlian.
Ketika ada pasien yang diperkenankan memilih satu dokter dari tiga dokter yang akan mengoperasi dirinya, maka tiga dokter ini diwawancara oleh pasien. Akhirnya sang pasien memilih satu dokter.
Ketika ditanyakan kenapa memilih dokter tersebut, karena dua dokter lain hanya bisa memberikan garansi kesuksesan operasi 85%. Sedang dokter yang sang pasien pilih berani memberikan jaminan kesuksesan operasi hingga 90%.
Lihat. Petikan di atas benar-benar terjadi. Mungkin pihak lain bisa berargumen apapun, terkait dengan religiusitas (bahwa pengambil keputusan tertinggi tetaplah Tuhan), tetapi tidak bisa kita pungkiri, ada pasien yang memiliki kecenderungan untuk menomorsatukan arogansi. Dan yang terjadi akhir-akhir ini, saya harus mengakui bahwa kepercayaan masyarakat dunia terhadap dokter tidak lagi sama seperti dulu. Ada kecenderungan kepercayaan terhadap dokter ini menurun.
Dan percayalah bahwa meski ada pendapat yang menyatakan dokter harus menurunkan kearogansian untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat, kearogansian dokter tetap berlanjut. Mungkin inilah warisan profesi dokter selama beberapa dekade kepada kita meski terkadang tidak adil. Kenapa? Karena bagaimanapun juga opini, asumsi, masyarakat yang kini berkembang tak terkendali dipicu kearogansian dokter sendiri. Dan karena ini adalah warisan, maka saya sendiri tidak luput dari kemungkinan menjadi dokter yang arogan.
Kini, kultur kedokteran selalu berputar pada siapa yang benar daripada apa yang terbaik bagi pasien. Kesempatan untuk merawat pasien dan mengurangi penderitaan pasien dikalahkan demi keegoisan untuk melaksanakan yang benar. Terkadang sesuatu yang benar tidak selalu menjadi yang terbaik bagi pasien. Dan ‘sesuatu yang benar’ bagi satu dokter, ternyata bisa berbeda dengan ‘sesuatu yang benar’ bagi dokter lain. Dinamisasi yang luar biasa, bukan?
Perrtarungan ego pun baik selama demi memberikan perawatan dan pengobatan terbaik bagi pasien. Dan itu yang penting.
Demikian opini saya. Dan dengan pengetahuan dangkal saya tentang profesi dokter umum, opini saya sangat terbuka untuk dikritisasi. Bagaimana dengan dokter spesialis? Saya tidak berkompeten menjelaskan.
Dan kini, dengan kerendahan hati, saya yang (masih) dokter umum menyerahkan semua pendapat pada pembaca budiman. Bahwa kearogansian dokter itu eksis, ada, dan bisa dirasakan merupakan fakta. Namun dokter yang membumi, berusaha memfasilitasi pasien dengan layanan terbaik pun masih ada. Dengan segala kemutakhiran ilmu yang dimiliki, dokter tetap memiliki tanggung jawab besar.
Ketika saya membaca timeline twitter, ada akun yang mencoba berkonsultasi dengan dokter spesialis anak.
“Dok, anak saya batuk pilek. Kenapa Dok? Obatnya apa Dok?”
Bagaimana balasan Sang Dokter?
“Kenapa? Saya tidak tahu. Obatnya juga saya tidak tahu.”
Arogansi? Mungkin bisa ditangkap seperti itu. Tetapi ini merupakan sikap yang benar, karena bagaimana mungkin dokter, sehebat apapun ia, bisa menjelaskan kenapa dan apa obatnya bila tidak memeriksa terlebih dahulu?
Bagi para kolega, saya rasa opini ini akan ditutup dengan sebuah permohonan. Untuk memberikan yang terbaik bagi pasien. Dan tentang kearogansian para role model kita, meski berupa warisan, tetap kembali pada kita sendiri, akankah kita memilih untuk menjadi pewaris, atau tidak.
Dan saya memilih, tidak.
Pernah kpn itu berucap begini : terserah aq donk, px2 q mau aq kasi obat apa, mau q kasi tindakan apa juga.. Itu sesungguhnya mrpkn suatu bentuk kearogansian juga bukan? Hmmm.. Jd malu.. Harus introspeksi diri.. Mari saling mengingatkan.. Boleh?? 🙂
Hehe..
Di akhir cerita saya juga bercerita ttg kearogansian seorang dokter yang dikonsul pasien via twitter..
Dan itu sah..
Jadi Ayu..
Arogansi dalam praktik dokter, dalam beberapa kasus tetap dibolehkan kok..
Misal dalam hal penanganan pasien, praktik dokter itu seni..
Jadi dalam penanganan pasien kita berhak menggunakan cara kita selama kita pny reasoning..
Arogansi yang tidak produktif adl bila ada seseorang yang mengingatkan, dan dalam proses saling mengingatkan itu sikap kita acuh tak acuh..
Jadi saya juga refleksi diri nih..
Hehe..
Most of dr’s arrogance formed from the system. Input yang humble dari awal-pun ketika memasuki Fak. Kedokteran sudah akan “tercemar” dengan arogansi fakultas yang dinilai “lebih” dari fak lain (tidak tau juga siapa yang menilai lebih). Itu pada saat pre-klinik. Saat masuk phase clinic… well, you know lah, tak perlu dijabarkan lagi. So, for me sometimes it’s more to “unconscious arrogance” yang kemudian ter-internalisasi dan akhirnya keluar dalam bentuk sikap dan perilaku seorang dokter…
Gak gampang menjadi dokter yang humble… 😉
[Tapi bukan gak mungkin]
Setuju..
Mbak Retha menggunakan unconscious arrogance..
kalau saya menggunakan legacy of arrogance..
Warisan arogansi..
Bahwa sejak awal kita menjadi mahasiswa FK, warisan ini muncul di pundak kita..
Warisan itu pasti dan ada..
Maka kembali kepada kita..
Kita ijinkan arogansi itu terinternalisasi atau tidak, itu pilihan..
Dan menjadi dokter yang tidak arogan memang bukanlah hal yang tidak mungkin..
itu lucunya jadi dokter, hehehe..
ada pasien yg maunya kita arogan, ada pasien yg maunya kita down to earth,
mungkin ada baiknya kita juga belajar memahami keinginan pasien pinginnya dokter yang model gimana, atau lebih sederhananya, berusaha menempatkan diri yang sedekat mungkin sesuai sama keinginan pasien 🙂
itu pandangan saya lhoo
Yup..
Benar..
Kita harus menakar diri sendiri..
Krn masing2 pasien akan memiliki penanganan yg berbeda..
Hny sebijak mgk dlm penggunaan dosis arogansi-nya..
Hehe..
Dear Dicky,
Selain arogansi pribadi, kita jg mesti hati2 dg arogansi profesi. Baik dokter umum atau dokter spesialis, ketika sdh memasang label titel tsb sering “nggak nakar diri”. Bahkan dengan lintas profesi saja, walau sama-sama dokter, suka membedakan perlakuan kan?
Sebetulnya smua manusia py kadar arogansi kan, masalahnya ktika profesional dokter bersikap arogan bisa mempertaruhkan nyawa atau kualitas hidup manusia lain. itu saja.
Sy rasa pasien maunya dokter yg percaya diri, bukan arogan. Karena rendah hati memang lebih mudah muncul bersama kepercayaan diri yang mantap. Dan begitu pula sebaliknya.
Thanks for sharing, jd inget masa-masa praktek dulu.
Hehe..
Terima kasih mbak Mayang berkenan mampir..
Benar sekali mbak..
Tetapi memang tidak saya bahas terkait dengan arogansi profesi..
Di akhir saya sempat menulis tentang saya yg tidak berkompeten menulis tentang arogansi di tingkat spesialis..
Karena saya memang belum merasakan jadi spesialis..
Hehe..
Wah benar tuh mbak..
Rendah hati pun bisa percaya diri..
Terima kasih masukannya..
Sekedar berbagi pendapat:
Menurut saya, siapapun yang sudah jadi dokter pastinya tanpa sadar memiliki sedikit bibit arogansi di dalam diri dan bibit tersebut akan terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu dalam keseharian di tempat praktek, jika tidak ditanggulangi. Kenapa?
“Jika ingin menguji karakter seseorang, berikan dia kekuasaan”
Hal ini tergantung dari cara penanggapan dokter, ketika diberikan “kepercayaan” oleh para pasien menyangkut kesehatan mereka.
Dalam hal ini, penanggapan yang kurang Matang dapat melahirkan sifat kepercayaan diri yang berlebihan pada masing-masing pribadi “berjas putih”, karena merasa “dibutuhkan”.
“Segala perilaku dan perkataan yang keluar dari mulut, bermuara di hati”.
Sehingga tanpa disadari sifat dan cara bersikap yang kurang pantas pun mulai nyata di dalam keseharian para dokter.
Tetapi dengan demikian, bukan berarti semua dokter memiliki sifat demikian, melainkan “berpotensi” memiliki sifat tersebut jika tidak dicegah dan ditanggulangi.
Hal di atas tidak hanya berlaku di dalam dunia para dokter! Pada profesi apapun dan di posisi manapun, setiap dari kita manusia pasti akan memiliki sedikit sifap angkuh, jika kita merasa “dibutuhkan”. (Tidak munafik, saya juga berpotensi memiliki sifat kurang baik tersebut, jika tidak saya cegah sejak dini).
-SOLUSI-
Salah satu cara untuk mengalahkan sifat-sifat yang kurang baik ialah dengan merubah cara berpikir dan pandang kita.
Untuk siapapun juga (baik dokter maupun profesi lain yang merasa “dibutuhkan”), cobalah ubah cara pandang dan berpikir dalam menjalankan profesi!
Saya yakin dan percaya setiap dari kita manusia memiliki tujuan hidup dan fungsi yang telah Tuhan rancangkan untuk kebaikan pribadi maupun orang banyak. Sehingga anggaplah apa yang sedang dilakukan itu bukan untuk manusia, melainkan untuk TUHAN!
Dengan demikian maka lakukanlah segala sesuatunya dengan penuh kerendahan hati dan sebaik mungkin.
Karena Tuhan kita hebat dan untuk Tuhan kita lakukan yang terhebat!
Semoga pendapat saya di atas dapat sedikit dijadikan masukan untuk para pembaca.
Salam hangat,
Benar sekali mas Victor..
Bahwa arogansi muncul dalam proses kita berkuasa..
Dan yg ingin saya tekankan memang kami, para dokter, harus mengenali warisan kita..
Krn arogansi muncul seperti kata mbak retha di komen di atas, unconcious arrogance. Tidak kita sadari sampai tiba2 kita telah arogan..
Maka benar kata mas victor..
Mari kita berbuat terbaik..
Semangat!
Kalo dokter sih, wajar dok. Tpi kalo koass? Bru koass aja gtu, apalgi udah dokter. Sibuk sih iya, tp tlg agak gak arrogan gtu… Sya jdi miris. Dlu smgat pgen jdi dokter, bhkan jika smgat sya ngedrop, saya ke rsud liat2 koass biar smgat. Eh mlah liat skap.y gtu malah jdi tmbh drop, dok
Hehe.. Itu kan ulah oknum..
Sekelompok orang yang menjadi sasaran stigma profesinya..
Jadi jangan mengambil penilaian dari sampel sekecil ini..
Semangat Wulan,,