Ha!!
Hayoo siapa yang pernah muncul perasaan seperti judul di atas? Atau: “Aduh sayang sekali lah yaaa saya sepinter ini cuma jadi dokter umum.”
Hehe…
Saya adalah satu di antara banyak dokter dan calon dokter yang juga berpendapat seperti ini. Dulu. Sekarang berbeda. Hehe…
Saya yakin. Semua, ah mungkin sebagian besar, dosen kita pun sering menghimbau. “Kalian jangan jadi dokter umum saja. Harus spesialis. Sekarang dokter umum saja tidak cukup.”
Nah. Begitulah potret pendidikan kedokteran kita saat ini. Dan juga ini merupakan potret sistem pendidikan kedokteran kita saat ini. Setelah saya berpraktik (meski baru seumur jagung), maka barulah saya dapat mensintesis permasalahan sistem profesi kedokteran Indonesia, bahkan mungkin secara global mengalami permasalahan yang sama.
Dalam dunia keprofesian kita (dokter), sebenarnya terbagi menjadi dua kelompok besar. Satu adalah dokter umum atau dalam terminologi Inggris: generalist. Atau dalam banyak aspek yang kini sedang dikembangkan menjadi: dokter keluarga (family medicine). Kelompok ini sesungguhnya menjadi kelompok penyumbang profesi terbanyak. Kelompok kedua adalah dokter spesialis. Dalam kepentingan klinis, dokter spesialis ini terbagi menjadi banyak bidang. Sangat banyak bidang. Dan dengan berkembangnya ilmu, maka bidang-bidang ini semakin mengerucut dan semakin sempit namun semakin ahli. Seperti seorang ahli bedah. Ia belajar lagi, maka ia akan menguasai bedah onkologi (khusus bidang tumor). Ketika ia ingin lebih ahli, ia akan mengkhususkan diri pada regio tertentu seperti payudara. Jadi ia adalah seorang ahli bedah yang memiliki keahlian lebih di bidang onkologi, dan fokus pada onkologi di payudara. Sangat spesifik.
Dan seperti yang sudah saya sampaikan di atas, telah menjadi konsensus tidak resmi bahwa semakin sempit dan spesifik bidang kita, semakin mahal ilmunya. Semakin besar tarif dokternya. Karena semakin ahli.
Izinkan saya memberi pendapat.
Menurut saya, kita kini hidup dalam sebuah konsep yang tidak berimbang. Subspesialisasi menjadi sangat berharga. Dan dokter umum menjadi kasta terendah. Kenapa saya bilang tidak berimbang? Karena sesungguhnya dokter kini menjadi sebuah produk industri kesehatan. Dan yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki keahlian khusus, dan akhirnya cenderung berlebihan (overvalues).
Pasien sesungguhnya tetap membutuhkan keduanya. Dokter umum dan spesialis. Memang benar, bila ada beberapa diagnosis yang spesialistik seperti hypertrophic obstructive cardiomyopathy, diffuse interstitial pneumonitis. Dan tentu saja keberadaan dokter spesialis menjadi sangat dominan. Baik dalam hal perencanaan diagnosis, terapi, dan prognosis.
Namun setelah berpraktik di tempat cukup terpencil dimana fasilitas diagnostik yang sangat terbatas, begitu juga dokter spesialis, saya meyakini sepenuh hati, bahwa untuk menjadi dokter umum yang baik, kita haruslah sangat pintar. Sebagai seorang generalist, kita harus memahami banyak hal, karena banyak gejala remeh namun punya arti medis yang signifikan. Dan seorang generalist haruslah mampu menjadi seorang diagnotician yang hebat. Karena hal-hal kecil tanda gejala tadi itu harus mampu dirangkum menjadi sebuah penyakit. Karena pasien kita tidak datang tiba-tiba dengan, “Pak Dokter, saya ini menderita batu ginjal.”
Pasien tidak datang dengan diagnosis yang tertulis di dahi mereka. Pasien datang dengan keluhan remeh-temeh. Kita sebagai dokter umum harus menguasai tiap keping rangkaian anatomi biokimia fisiologi, dan memilih puzzle mana yang tepat untuk mengetahui gambaran diagnosis.
Dokter umum harus mampu menjadi dokter mata, dokter THT, dokter saraf, dokter jiwa, dokter rehabilitasi medik, dokter jantung, dokter paru dan banyak dokter sekaligus dalam satu waktu, dengan kemampuan intelijensia yang mumpuni dan pemahaman ilmu spesialistik sedalam mungkin (dengan standar dokter umum).
Lantas?
Kita tidak boleh menjadi spesialis?
Tentu saja tidak. Tetapi pemahaman tentang miskonsepsi inilah yang harus kita telaah bersama. Menjadi dokter umum adalah sebuah kebanggaan. Karena bertemu dengan banyak pasien bervariasi. Banyak improvisasi yang harus kita lakukan dengan keterbatasan fasilitas.
Penghargaan itulah yang diharapkan. Bahwa ujungnya akan menjadi pembahasan jasa profesi, maka sudah bukan menjadi isu baru. Sudah saatnya ada sebuah reformasi dalam penghargaan kepada dokter umum. Ada gerakan yang harus dimunculkan dan dinasionalkan.
Sementara itu, wahai para dokter spesialis. Masalah sebagian besar anda adalah: “Being a specialist, doesn’t mean that you are smarter”. Dokter spesialis sesungguhnya seringkali tidak melihat gambaran besar manusia, melainkan hanya sebagian. Dan ketika dokter umum dan spesialis mampu berkolaborasi, yang diuntungkan adalah pasien.
Bila ada surat dari SpJP: kepada teman sejawat dokter umum. Pasien Tn. A/90 th adalah pasien dengan payah jantung kongestif. Saya telah melaksanakan prosedur diagnosis A, B, dan C. Terapi saya adalah obat D, dan E. Mohon pengawasan adanya tanda dan gejala F, G, dan H sebagai tanda komplikasi dan bila muncul segera rujuk.
Surat itu ditujukan kepada dokter umum di sebuah klinik kecil di desa. Karena pasien berasal dari desa tersebut, maka akan sangat meringankan beban pasien bila kontrol dilakukan di dokter umum terdekat diiringi surat yang lengkap. Inilah proses saling belajar dan saling menghargai, bukan?
Atau kita harus sedikit sinis?
Bahwa kita kini sebagai dokter juga harus mencari uang? Sekolah kedokteran itu mahal, Bung. Dan anda akan dapat uang berapa dengan hanya menjadi dokter umum? Tidak. LASIK jauh lebih mungkin memberikan kita banyak uang, bukan?
Well, Saya adalah satu dari sedikit yang percaya bahwa mencegah lebih baik mengobati. Dan seharusnya sistem kesehatan kita seperti itu. Begitu pula sistem tarif dan penggajiannya akan lebih menghargai mereka yang berkecimpung di bidang dokter keluarga. Dan mungkin, saat dokter yang lebih banyak bermain di ranah prevensi miokard infark, mendapat uang lebih banyak dari dokter yang melaksanakan prosedur kateterisasi jantung, saat itulah baru akan muncul: “you are too smart to be a specialist. You have to go to family medicine”
Yang terjadi kini adalah dokter umum (kini di beberapa negara maju berkembang sebutan primary care specialist) hanya menjadi penjaga gawang pasien. Bukan sebagai dokter (caregiver). Padahal dalam nama profesi kita muncul kata care. Dan care itu tidak masuk hitungan performa. Kenapa performa menjadi penting? Karena sistemkita sekarang menganut pay-for-performance. Artinya setiap tindakan akan menjadi produk yang dijual mahal. Apalagi bila membutuhkan alat yang canggih yang investasinya milyaran. Anehnya, care yang membutuhkan alat yang sampai sekarang tidak mampu diciptakan manusia tidak terhitung performa. Care itu alat utamanya adalah hati (heart). Dan harusnya menjadi lebih mahal dari performa apapun.
Primary care specialist harus memahami bahwa ilmu kedokteran memang sebuah sains. Namun menyembuhkan pasien adalah sebuah seni. Dokter umum mempelajari dan menguasai sains dan mengaplikasikan ilmu itu dengan baik dalam sebuah hubungan terapeutik dokter-pasien yang empatik.
Maka, saya rasa semua, baik dokter umum dan dokter spesialis adalah baik dan sama-sama membutuhkan manusia yang pintar. Dan butuh kebajikan dan kebijakan dua arah agar dua profesi ini dapat berkolaborasi dengan baik dengan penghargaan yang seimbang.
“The treatment of disease must be completely impersonal; the treatment of a patient must be completely personal.”
Bagaimana menurut teman-teman?
Ada yang berkenan berkomentar?
dr. Dicky
-dokter umum yang juga (masih) mau melanjutkan spesialis-
Ijin komen ya, mas. Aku setuju dengan sebagian besar pendapat di postingan ini. Menurutku memang benar tidak ada yang namanya ‘terlalu-pintar-untuk-sekedar-jadi-dokter-umum’. Menurutku justru dokter umum itu sendiri hebat; mereka tau luas seluas-luasnya walaupun hanya superfisial. Dan aku sendiri menyadari menjadi spesialis bukan berarti mereka lebih pintar. Pengalaman ada seorang ppds dari suatu bagian yang karena sedang mendalami bagiannya sehingga tutup mata terhadap bagian lain. Saat itu ada seorang yang kebetulan keluhannya tidak hanya dari bagiannya, namun juga dari bagian lain. Ppds itu salah meng-KIE pasien tersebut dan kesalahan tersebut berujung pada ‘harapan palsu’ pada pasien. Untungnya kemudian ppds itu sadar kalo KIE nya salah (setelah beliau buka buku tentunya) dan langsung meralat pada pasien tadi. Karena itu menurutku seorang dokter umum juga istimewa, terutama yang memang kompeten sesuai kompetensinya. 🙂
DM Danica -dokter muda yang (tentunya) mau melanjutkan spesialis-
Danica: ijin komen ya, mas
Dicky: makasih sudah komen
Hehe..
Benar. Dokter umum itu justru main-caregivers. Sekarang yang harus ditumbuhkan adl penghargaan yang tinggi untuk profesi dokter umum dari kolegium profesi kita sendiri. Sehingga bertahun-tahun ke depan, yg ada dokter berlomba-lomba jd primary-care-specialist.
Semangat ya Danica koass-nya (yang tinggal sebulan). Hehe..
Okesip.
Haha..
Pak cip..
Saya tambahin: lalala yeyeye
😉
Halo dr Dicky,assalamualaikum 🙂
Saya suka tulisan dr.Dicky terlebih judulnya. Judulnya memerankan ‘etalase’ yang memancing rasa ingin tahu substansi dibalik kemasan.
Saya ‘mengaku’ bhw saya termasuk salah satu pendorong agar dokter terus mempunyai tekad kuat, tidak berhenti di dokter umum. Alasannya begini…(tentu ini dari sudut pandang saya, sehingga masih diperlukan sudut pandang lain yang lebih luas agar seekor gajah bukan didefinisikan sebagai ekor dari anaknya kuda prematur krn yg dilihat cuma ekornya)
Ada 3 hal yang apabila ketiganya seimbang, maka dokter umum belum perlu ramai2 (dlm jumlah besar) ambil spesialis yakni dokternya, sistem pembiayaan kesehatan, dan sistem pelayanan kesehatan.
Dokter. Dengan asumsi dokter yang saat ini sudah lulus Uji Kompetensi Dokter Indonesia (th 2015 kompeten Tingkat Asean; 2020 kompeten tingkat dunia), maka ibarat pengemudi maka dokter sudah mempunyai SIM. SIMnya dikeluarkan oleh suatu institusi atau badan yang terstandarisasi. Kita anggap saja dokter sudah ‘pintar’.
Sistem pembiayaan kesehatan. Selama sistem pembiayaan kesehatan masih belum mapan, membuat dokter pintar mengalami dilema. Selama masyarakat masih membayar dengan uang pribadinya untuk pemeriksaan radiologis, laboratoris dan pemeriksaan lain yang alat dan biaya maintenancenya mahal, maka dokter akan kesulitan mendapatkan diagnosis yang semestinya. Begitu juga terapi yang seharusnya menggunakan obat X yang cocok untuk kuman tertentu, karena obat sulit didapat (tidak ada dalam daftar obat yg dipunyai instansi pelayanan kes) atau pasien tidak mampu membeli, maka dokter sepintar apapun akan dengan sangat terpaksa ‘menyesuaikan’. Apabila pengobatan tidak menghasilkan keadaan yg sesuai harapan, maka ‘kualitas’ dokter dipertanyakan. Sebagian besar ‘getah’ ini terkena pada dokter umum sebagai ujung tombak terdepan dari pelayanan kesehatan.Apabila kelak ada sistem pembayaran asuransi atau semacamnya, maka dokter akan lebih leluasa untuk menegakkan diagnosis sesuai standar, tanpa dipusingkan oleh pembiayaan. Juga pasien bisa mendapatkan pelayanan yang semestinya sesuai standar, yang berdampak dokter (umum) lebih mendapat kepercayaan dari masyarakat.
Sistem pelayanan kesehatan. Apabila masyarakat dengan kesadaran memelihara kesehatannya dengan ‘bermitra dokter’ pelayanan primer atau dokter keluarga (pelayanan holistik- promotif,preventif,kuratif,rehabilitatif), dokter spesialis menangani pasien atas rujukan dokter keluarga yg mengetahui ‘sejarah kesehatan si X dan seluruh aspek terkait kesehatannya’ sehingga dengan demikian penatalaksanaannya menjadi lebih fokus sesuai keahliannya, kemungkinan keserawutan ‘nasib’ dokter umum tidak terlalu ‘parah’.
Saat ini keadaan masih simpang siur. Dokter umum dalam mendiagnosis dan menatalaksana masih harus berakal ‘multiple’-ber fikir akrobatik- memeras otak bagaimana menyelamatkan kesehatan pasien yg datang dengan segala keterbatasan tetapi bersamaan dengan itu dia juga harus menyelamatkan diri dari ‘ancaman hukum-etika, komplen sefihak tanpa konfirmasi atau re-check terlebih dulu dan biasanya tidak ada kesempatan untuk meng-counter (hak jawab)’ dll. Dengan adanya otonomi daerah seorang dokter umum (relatif) dalam posisi sulit, ‘nasib’nya kadang bisa tergantung pimpinan daerah (misalnya ada yang melarang dokter Puskesmas untk praktek ). Karena masih simpang siur, maka dokter umum (atau sebenarnya: siapapun) tidak boleh berhenti belajar, hal ini bukan mengajak matre atau sibuk urusan duniawi…tetapi lebih pada tujuan ‘memperluas lahan amal’ krn saya percaya bahwa finansial adalah efek samping yang membuntuti kualitas seseorang.
Sebenarnya banyak pilihan lain selain dokter spesialis, namun tampaknya perlu bahasan tersendiri di forum lain.
Jadi..saya masih ngeyel…ayo…adik adik..anak anak…sekolah lagi.sekolah lagi..mumpung umur masih ada. Demikian komentar saya dr Dicky, sekedar share…untuk bahan diskusi. Semoga bermanfaat. 🙂
Alhamdulillah..
Dapat komen yang lengkap nan intimidatif..
Setuju dokter.
Maka saya pun masih pakai tag “dokter umum yang (masih) akan melanjutkan spesialis.”
Karena wahana bagi dokter umum belum mampu membesarkan dan menyuburkan dokter umum. Seperti yang saya sampaikan, dokter umum hanya menjadi jaga gawang (gatekeeper). Kurang (atau tidak) dihargai. Parameternya menurut saya adalah tidak adanya batas minimal dalam sistem jasa profesi. Dan anehnya disini IDI belum terdengar suaranya. Dan tentu saja ini terkait dengan sistem pembiayaan kesehatan seperti yang diungkapkan dr. Yayuk.
Inilah celah yang menjadi faktor yang memperlebar gap antara dokter umum dan spesialis. Bayangkan di sebuah rumah sakit tipe B, dimana dokter umum yang menerima pasien, di-dispose ke dokter spesialis, visite menggantikan dokter spesialis. Namun dokter umum hanya mendapat 20% dari yang didapat dokter spesialis.
Ini adalah argumen yang menunjang tiga poin dr. Yayuk. Dan pada akhirnya, saran yang tepat memang melanjutkan ke dokter spesialis. Namun bagi kita yang kini menopang sistem, harus membuka mata dan bergerak. Agar nasib dokter umum yang secara kualitas maupun kuantitas berhadapan dengan masyarakat mendapat penghargaan yang berimbang.
Semoga bisa memancing komen lain sehingga bisa menjadi ajang sharing.
Bener jg, sistem kesehatan yg kurang berkesinambungan antara penyedia jasa dokter umum sama spesialis pastinya akan berdampak ke penatalaksanaan pasien
Ijin share nih, prnah denger cerita kalo diluar negeri itu (Australia) sistem kesehatannya udh spt yg ms dicky jabarkan. Jadi ceritanya pasien didiagnosis DM sm dokter umum, dirujuk ke spesialis untuk pemeriksaan lngkap dari segala aspek. Setelah hasil lab kluar, sangat controllable dan blm ada komplikasi serius. Akhirnya si pasien dikirim lg ke dokter umum awal sama spesialisnya td smbil diberi catatan untuk selalu mengontrol keadaan pasien tsb. Waw, spektakuler sekali. Tp yah disana pelayanan kesehatan mudah didapatkan, beda dengan keadaan di Indonesia yg tdk seluruh aspek dijangkau oleh Asuransi Kesehatan.
Semangat ms dicky yg msh mau spesialis, ga pengen bcita2 jd menkes mas? hehe
andina – S.Ked yg masih mau koas
Makasih DM Andina yg udh mw mampir dan komen..
Really appreciate it
😉
Benar.
Wahana di Indonesia belum bisa membesarkan dan memakmurkan dokter umum..
Srg saya merujuk pasien ke dokter spesialis..
Kdg tidak diberi KIE yg baik dan ‘pemaksaan’ harus kontrol ke dokter spesialis yg jaraknya jauh.. bahkan beda kota..
Tidak ada proses pencerdasan kepada dokter umum..
Dan tentu saja sistem pembiayaan kesehatan kita juga masih banyak kekurangan..
Hehe..
Tau sendirilaaah..
O ya..
Jadi menkes?
Hehe..
Kasian pak pres saya: dr. Feza.. jatahnya beliau..
Hehe..
NB: ni kenapa banyak org yg blg menkes ya..
dulu waktu nonton film “Sicko”, saya langsung terpesona dengan NHS (National health system) nya Inggris. seluruh warga negara dicover dengan asuransi yang berasal dari pajak alokasi APBN tanpa memandang dia miskin atau kaya dan semua jenis layanan kesehatan ditanggung oleh asuransi tersebut. bahkan uang transport pasien menuju pusat layanan kesehatan. Yang lebih mengagumkan, kesejahteraan tenaga medis sangat diperhatikan. Baik spesialis maupun dokter umum dapat hidup dengan sangat layak tanpa harus rebutan pasien atau bertindak menyimpang dari kompetensi. semua berjalan kolaboratif dan sangat serasi. seorang dokter umum disana tidak hanya dibayar untuk jasa pelayanan, namun mereka juga diberikan reward besar ketika berhasil melakukan prevensi penyakit, misalnya mengedukasi seorang pasien sampai berhenti merokok. (tapi saya belum pernah tahu apakah APBN Inggris pernah jebol karena sistem ini. hehe..). mungkin keadaan kita masih jauh dari negara tetangga di atas. Akan tetapi, memperbaiki sesuatu yang dipandang rusak akan lebih mudah jika kita mempunyai gambaran normalnya. jika ingin ambil bagian dalam perubahan menuju yang lebih baik, ya kita harus menguasai “ilmunya”. Salah satu caranya denganterus belajar dan sekolah sekolah lagi. Ada banyak pilihan ketika mungkin “enggan” menjadi seorang spesialis misalnya menjadi epidemiologis, ahli keuangan kesehatan,ahli hukum kesehatan, ahli manajemen kesehatan, praktisi pendidikankesehatan, dan masih banyak lagi. Intinya kita bisa menggali potensi diri , menyesuaikannya dengan minat, dan mampu mendedikasikannya untuk kemaslahatan umat.
nurul_dokter yang masih mencari inspirasi untuk sekolah lagi. hehe…
Waaa..
Nurul mampir blog saya..
Matur nuwun..
Kepada: Nurul yang masih mencari inspirasi sekolah lagi..
Hehe..
Bener banget. Sicko itu membuka mata qt. Dan NHS-nya UK memang digambarkan sangat bagus. Ada gt ya pasien hbs berobat ndak bayar malah dikasi uang buat transport? Dan dokter umumnya makmur.
Benar sekali. Saat ini kondisi sistem kita kan patologis. Dan saya, secara pribadi, ingin kita semua melek (membuka mata) atas fakta ini. Kalau melek-nya berjamaah, maka gerakan kita lebih masif.
Karena saat ini belum berimbang antara 3 unsur: dokter, sistem pembiayaan kesehatan, dan sistem kesehatan nasional, maka kita harus upgrade diri masing-masing. Sehingga bisa ambil bagian di masa depan mewujudkan sistem yang terbaik bagi Indonesia.
NB: oke. Saya terlarut. Bahasanya terlalu berat. Hehe..
saya bukan dokter, tp dlm keluarga ada beberapa dokter. sebagai orang non medis atau berperan sebagai pasien,mudah-mudahan bisa memberikan opini dari sudut pandang lain. saya setuju dengan isi tulisan anda. mau dokter umum atau spesialis, gada hubungan dengan intelegensi. saat ini siapa saja bisa jadi dokter asalkan ada uang, dan sedikit pinter. sekolah kedokteran sudah sangat banyak, ga harus masuk univ negeri, swasta juga mengakomodir asalkan punya biaya. belum lagi dokter -dokter yang ditunggangi perusahaan farmasi, ngasi resep biar dapat imbal jasa dari farmasi. mesti pinter-pinter milih dokter yg jujur dan kompeten.
masyarakat kita secara umum memang belum well-educated, jadi terima sajalah kalau persepsinya masih banyak yang salah (salahsatunya soal “dokter spe lebih pinter daripada dokter umum). sebagai pasien, kalau boleh menyarankan, lebih baik fokus untuk i menjadi dokter yang terbaik di bidang anda dan mengutamakan kepentingan pasien. dokter yang qualified dari segi kompetensi dan nurani masih sangat sedikit,
Terima kasih untuk urun rembugnya mbak Tania..
Benar. Saat ini rasanya lebih mudah untuk masuk ke fakultas kedokteran. Ada yang masuk dari jalur herediter (ortu saya dokter ya saya jg hrs jd dokter), ada pula yang masuk dari jalur uang (sudah jelas).
Namun mudahnya masuk fakultas kedokteran tdk akan sama dgn mudahnya menjadi dokter. Itu sahih. Maka saya percaya, siapapun yang telah masuk FK, ia akan berprofesi dengan hati nurani. Karena dokter selalu berhubungan dengan manusia.
Terima kasih masukannya, mbak Tania. Benar, kami memang harus do the best. Apapun baju yang dipakai. Dokter umum, spesialis, maupun master pendidikan kesehatan yang lain.
Namun seperti yang dikatakan dr. Rahayu (dosen saya yang luar biasa). Bahwa kesalahan sistem ini lah yang (awalnya kita harus tahu bahwa ada sesuatu yang salah, dan) harus sedikit demi sedikit kita perbaiki.
Semoga kami diberi jalan dan kemudahan. Karena apapun usahanya, tujuannya tetap satu, kesehatan masyarakat.
saya senang sekali membaca postingannya. saya siswi sma kelas 3. Dan saya juga bercita cita untuk menjadi dokter. Setelah membaca postingan dokter, saya sangat yakin untuk menjadi seorang dokter kedepannya. Karena saya betul betul ingin menjadi dokter yang ‘caregiver’ bukan ‘moneytaker’
Terima kasih apresiasinya,,
Benar,,
Kita butuh lebih banyak caregiver,,
Lbh peka sisi humanis,,
Semangat Dik!!
ijin komnt ya mas jgn tersingung
klw tidak merasa
dokter memang semua pintar
terlalu pinter untuk pinter2in pasien
ratusan juta yg di habisin untuk sekolah kedokteran lantas apa yg ada di pikiran dokter(gmn biar duit gw balik dngn cpt)
1% dokter yg bnr2 peduli dngn kesembuhan pasien 99% nya gmn mendapat ke untungan dr pasien mungkin dari obat, gw ks aja obat yg mahal(seharusnya tdk mesti) , atau gw bilang aja sama keluarga pasien harus di oprasi ( padahal g di apa2in) gundulin aja biar yakin keluarga pasien, atau pasien udh meninggal tp keluarganya g tau krn di ruangan icu, gw bilang aja blm meninggal ms bs di selamatkan(kritis) ,gw ks alat bantu pernafasan dll, terus gw bilang harus di oprasi sekarang juga(jam 2 mlm),lumayan dpt uang buat nutupin biaya sekolah dr oprasir sama bahan buat praktek dokter br,(kondisi pasien lemah koq di oprasi)
so untuk para dokter , niat kalian jadi dokter untuk cari uang yg berlimpah atau menyembuhkan mahluk allah???
#curahanhati
Komentar ini saya moderasi untuk disetujui..
Kenapa?
Karena sesungguhnya inilah gambaran masyarakat kita saat ini terhadap profesi dokter..
Komentar ini mewakili banyaknya suara hati masyarakat..
Bagi saya..
Sekedar pengingat, untuk tetap menjadi dokter yang baik..
Tetapi, komentar ini juga perlu dikritisi..
Setiap kelompok pekerja, sebut kelompok yang kita tahu, pasti ada sekelompok oknum yang menyimpang.. Tidak melaksanakan kewajiban profesinya dengan baik..
Pengacara yang nakal, tukang bengkel mobil yang bilang akinya diganti padahal tidak, tukang cat mobil yang bilang perlu dicat dengan cat merek A dan dia dapat uang dari toko cat, padahal ada cat lain yang lebih murah dan bagus..
Bidan, perawat, farmasi..
Atau para ahli pertanian yang bilang perlu menggunakan pupuk merek A agar hasil baik kepada petani yang awam, padahal dapat uang dari pabrik pupuk.. Begitu juga ahli perikanan, peternakan..
Lihat, betapa mudahnya menjadi orang yang tidak baik..
Termasuk berkomentar yang tidak baik..
Nyaris semua kelompok pekerja memiliki sejumlah orang yang berbuat curang..
Maka, sebuah asumsi (prasangka) yang cukup jahat, menyebutkan hanya 1% dokter yang baik..
Mari memandang masalah ini dengan jernih..
Lihat di sekitar kita dengan baik..
Semoga kita bisa lebih bijak menyikapi oknum-oknum seperti ini..
Di semua kelompok pekerja..
sorry ya mas saya komnt lagi nii, semua pekerja mungkin ada curangnya, untuk dokter klw kalian curang juga sama dngn yg lain apa kalian g mikir dokter2 nyawa taruhannya uang bisa di cari, barang bisa di beli, tapi apa ada yg jual nyawa. apa kalian pernah denger direktur rumah sakit korupsi(rs tg.uban bintan utara riau) direktur korup dr.xxx , dokter2 pada belagu acau tak acuh, pernah kalian dngr ada yg kecelakan kaki patah darah berceceran pas di bawak ke rs di biarin gt aja dokter g ada yg mau nanganin sampai keluarganya datang(money First) , keluarga pasien datang tp pasien udh meninggal ke habisan darah, kalian para dokter apa g mikir gmn klw keluarga kalian yg sperti itu, apa kalian g mikir dunia ini hanya sesaat ,
pasien udh meninggal ms ttp di oprasi(rs.awal bros batam) keluarga habis ratusan juta karna oprasi yg g jelas , kalian para dokter udh tau ciri2 pasie yg uddh g bisa di selamatin sama yg masi bisa kalian tau pasien yg udh koma dan mengeluarkan suara sprti ngorok itu tandanya udh tinggal tunggu tp knp ms pinter2in pasien yg kalian g tau keluarganya mampu atau tidak, siapa yg pengn keluarganya mati gak ada, jadi apa yg dokter bilang keluarga pasien pasti turutin walau harus keluarin uang ratusa juta, tp klw ujung2nya pasien mati juga apa kalian g mikir hancurnya keluarga pasien, gimana hancurnya keluarga mrk yg harus membayar semua hutang2 untuk biaya rumah sakit, kalian g akan pernah tau klw mrk menjadi glandangn krn rumahnya sudah di jual.
kalian para dokter apa yg kalian lakukan dngn tidak bnr, itu pst akan terjadi pada anak kalian, cucu kalian dan turunan2 kalian berikutnya, dan kalian pst akan sedih dan menderita melihat itu.
makasih sblmnya wlpn blsan komnt di atas sedikit membela kelompok kedokteran, tp mas sangat amat salah klw menyamakan oknum perkerja2 lain dngn pekerja di bidang kedokteran 120° sangat berbeda,coba mas ini pikirin org lebih milih kehilangan
uang dan barang, atau nyawa .
🙂
Siap..
Terima kasih pencerahannya..
Tapi ketika kita melihat banyak sekali ketidakbaikan, maukah juga melihat banyak sekali kebaikan?
Semoga bisa melihat semuanya dengan bijak..
Saya tidak membela dokter..
Saya membela setiap orang yang bekerja sepenuh hati sesuai tuntutan profesinya, bahkan mungkin lebih sepenuh hati dibaningkan saya..
Sayang, kebaikan mereka lebih mudah terlupakan, tertutupi benak yang mendahulukan penilaian kepada mereka yang di sisi lain, bertindak semena-mena atas nama pekerjaan mereka..
Terima kasih..
Salam saya dari electromedical engineering. sy tidak begitu suka dengan tingkah laku beberapa dokter spesialis yg sok pintar. toh mereka juga blm tentu pintar dlm bidang saya kan? bahkan jika mereka memperlajari ilmu sains teknologi mereka bisa saja jadi bodoh dan drop out. tiap org kapasitasnya berbeda. dan belum tentu saya yg belajar ilmu remeh temeh mereka belum tentu sy jg tidak bisa. Semoga anda tdk menjadi golongan spt mereka. ini bukan soal profesi, tp ini tntng oknum. mayoritas kenyataannya spt itu. Salam engineer…
Salam Mas Firman..
Wah Mas Firman dari electromedical engineering.. mantap!!
Jaman Now, tenaga medis sudah bukan waktunya bekerja sendiri..
Tuntutannya adalah berkolaborasi..
Dan electromedical engineering salah satu bidang yg cukup bagus prospeknya..
Sebenarnya, yg diperlukan hanya berpikiran terbuka..
Bahwa ada bidang-bidang lain yg siap bekerja sama dengan kita..
Semangat Mas!!
Oknum yg Mas Firman ceritakan selalu ada.. di bidang apapun..
Siaplah kita bekerja sama dengan mereka..
Asal kita tetap terus mewarnai sekeliling kita dengan semangat positif..