Ha!!
Hayoo siapa yang pernah muncul perasaan seperti judul di atas? Atau: “Aduh sayang sekali lah yaaa saya sepinter ini cuma jadi dokter umum.”

Hehe…
Saya adalah satu di antara banyak dokter dan calon dokter yang juga berpendapat seperti ini. Dulu. Sekarang berbeda. Hehe…

Saya yakin. Semua, ah mungkin sebagian besar, dosen kita pun sering menghimbau. “Kalian jangan jadi dokter umum saja. Harus spesialis. Sekarang dokter umum saja tidak cukup.”

Nah. Begitulah potret pendidikan kedokteran kita saat ini. Dan juga ini merupakan potret sistem pendidikan kedokteran kita saat ini. Setelah saya berpraktik (meski baru seumur jagung), maka barulah saya dapat mensintesis permasalahan sistem profesi kedokteran Indonesia, bahkan mungkin secara global mengalami permasalahan yang sama.

Dalam dunia keprofesian kita (dokter), sebenarnya terbagi menjadi dua kelompok besar. Satu adalah dokter umum atau dalam terminologi Inggris: generalist. Atau dalam banyak aspek yang kini sedang dikembangkan menjadi: dokter keluarga (family medicine). Kelompok ini sesungguhnya menjadi kelompok penyumbang profesi terbanyak. Kelompok kedua adalah dokter spesialis. Dalam kepentingan klinis, dokter spesialis ini terbagi menjadi banyak bidang. Sangat banyak bidang. Dan dengan berkembangnya ilmu, maka bidang-bidang ini semakin mengerucut dan semakin sempit namun semakin ahli. Seperti seorang ahli bedah. Ia belajar lagi, maka ia akan menguasai bedah onkologi (khusus bidang tumor). Ketika ia ingin lebih ahli, ia akan mengkhususkan diri pada regio tertentu seperti payudara. Jadi ia adalah seorang ahli bedah yang memiliki keahlian lebih di bidang onkologi, dan fokus pada onkologi di payudara. Sangat spesifik.

Dan seperti yang sudah saya sampaikan di atas, telah menjadi konsensus tidak resmi bahwa semakin sempit dan spesifik bidang kita, semakin mahal ilmunya. Semakin besar tarif dokternya. Karena semakin ahli.

Izinkan saya memberi pendapat.

Menurut saya, kita kini hidup dalam sebuah konsep yang tidak berimbang. Subspesialisasi menjadi sangat berharga. Dan dokter umum menjadi kasta terendah. Kenapa saya bilang tidak berimbang? Karena sesungguhnya dokter kini menjadi sebuah produk industri kesehatan. Dan yang diuntungkan adalah mereka yang memiliki keahlian khusus, dan akhirnya cenderung berlebihan (overvalues).

Pasien sesungguhnya tetap membutuhkan keduanya. Dokter umum dan spesialis. Memang benar, bila ada beberapa diagnosis yang spesialistik seperti hypertrophic obstructive cardiomyopathy, diffuse interstitial pneumonitis. Dan tentu saja keberadaan dokter spesialis menjadi sangat dominan. Baik dalam hal perencanaan diagnosis, terapi, dan prognosis.

Namun setelah berpraktik di tempat cukup terpencil dimana fasilitas diagnostik yang sangat terbatas, begitu juga dokter spesialis, saya meyakini sepenuh hati, bahwa untuk menjadi dokter umum yang baik, kita haruslah sangat pintar. Sebagai seorang generalist, kita harus memahami banyak hal, karena banyak gejala remeh namun punya arti medis yang signifikan. Dan seorang generalist haruslah mampu menjadi seorang diagnotician yang hebat. Karena hal-hal kecil tanda gejala tadi itu harus mampu dirangkum menjadi sebuah penyakit. Karena pasien kita tidak datang tiba-tiba dengan, “Pak Dokter, saya ini menderita batu ginjal.”

Pasien tidak datang dengan diagnosis yang tertulis di dahi mereka. Pasien datang dengan keluhan remeh-temeh. Kita sebagai dokter umum harus menguasai tiap keping rangkaian anatomi biokimia fisiologi, dan memilih puzzle mana yang tepat untuk mengetahui gambaran diagnosis.

Dokter umum harus mampu menjadi dokter mata, dokter THT, dokter saraf, dokter jiwa, dokter rehabilitasi medik, dokter jantung, dokter paru dan banyak dokter sekaligus dalam satu waktu, dengan kemampuan intelijensia yang mumpuni dan pemahaman ilmu spesialistik sedalam mungkin (dengan standar dokter umum).

Lantas?
Kita tidak boleh menjadi spesialis?

Tentu saja tidak. Tetapi pemahaman tentang miskonsepsi inilah yang harus kita telaah bersama. Menjadi dokter umum adalah sebuah kebanggaan. Karena bertemu dengan banyak pasien bervariasi. Banyak improvisasi yang harus kita lakukan dengan keterbatasan fasilitas.

Penghargaan itulah yang diharapkan. Bahwa ujungnya akan menjadi pembahasan jasa profesi, maka sudah bukan menjadi isu baru. Sudah saatnya ada sebuah reformasi dalam penghargaan kepada dokter umum. Ada gerakan yang harus dimunculkan dan dinasionalkan.

Sementara itu, wahai para dokter spesialis. Masalah sebagian besar anda adalah: “Being a specialist, doesn’t mean that you are smarter”. Dokter spesialis sesungguhnya seringkali tidak melihat gambaran besar manusia, melainkan hanya sebagian. Dan ketika dokter umum dan spesialis mampu berkolaborasi, yang diuntungkan adalah pasien.

Bila ada surat dari SpJP: kepada teman sejawat dokter umum. Pasien Tn. A/90 th adalah pasien dengan payah jantung kongestif. Saya telah melaksanakan prosedur diagnosis A, B, dan C. Terapi saya adalah obat D, dan E. Mohon pengawasan adanya tanda dan gejala F, G, dan H sebagai tanda komplikasi dan bila muncul segera rujuk.

Surat itu ditujukan kepada dokter umum di sebuah klinik kecil di desa. Karena pasien berasal dari desa tersebut, maka akan sangat meringankan beban pasien bila kontrol dilakukan di dokter umum terdekat diiringi surat yang lengkap. Inilah proses saling belajar dan saling menghargai, bukan?

Atau kita harus sedikit sinis?

Bahwa kita kini sebagai dokter juga harus mencari uang? Sekolah kedokteran itu mahal, Bung. Dan anda akan dapat uang berapa dengan hanya menjadi dokter umum? Tidak. LASIK jauh lebih mungkin memberikan kita banyak uang, bukan?

Well, Saya adalah satu dari sedikit yang percaya bahwa mencegah lebih baik mengobati. Dan seharusnya sistem kesehatan kita seperti itu. Begitu pula sistem tarif dan penggajiannya akan lebih menghargai mereka yang berkecimpung di bidang dokter keluarga. Dan mungkin, saat dokter yang lebih banyak bermain di ranah prevensi miokard infark, mendapat uang lebih banyak dari dokter yang melaksanakan prosedur kateterisasi jantung, saat itulah baru akan muncul: “you are too smart to be a specialist. You have to go to family medicine

Yang terjadi kini adalah dokter umum (kini di beberapa negara maju berkembang sebutan primary care specialist) hanya menjadi penjaga gawang pasien. Bukan sebagai dokter (caregiver). Padahal dalam nama profesi kita muncul kata care. Dan care itu tidak masuk hitungan performa. Kenapa performa menjadi penting? Karena sistemkita sekarang menganut pay-for-performance. Artinya setiap tindakan akan menjadi produk yang dijual mahal. Apalagi bila membutuhkan alat yang canggih yang investasinya milyaran. Anehnya, care yang membutuhkan alat yang sampai sekarang tidak mampu diciptakan manusia tidak terhitung performa. Care itu alat utamanya adalah hati (heart). Dan harusnya menjadi lebih mahal dari performa apapun.

Primary care specialist harus memahami bahwa ilmu kedokteran memang sebuah sains. Namun menyembuhkan pasien adalah sebuah seni. Dokter umum mempelajari dan menguasai sains dan mengaplikasikan ilmu itu dengan baik dalam sebuah hubungan terapeutik dokter-pasien yang empatik.

Maka, saya rasa semua, baik dokter umum dan dokter spesialis adalah baik dan sama-sama membutuhkan manusia yang pintar. Dan butuh kebajikan dan kebijakan dua arah agar dua profesi ini dapat berkolaborasi dengan baik dengan penghargaan yang seimbang.

“The treatment of disease must be completely impersonal; the treatment of a patient must be completely personal.”

Bagaimana menurut teman-teman?
Ada yang berkenan berkomentar?

dr. Dicky
-dokter umum yang juga (masih) mau melanjutkan spesialis-