Ini adalah edisi terakhir dari seri Lima Hal tentang Sekolah Kedokteran. Edisi ini akan membahas tentang: benarkah sekolah kedokteran akan mengubah kita? Dan benarkah di bidang ini semuanya penting? Mari kita membaca…

Poin 4: Sekolah Kedokteran akan mengubah kita.

Dulu, saat saya akan memasuki fakultas kedokteran, saya bilang, saya akan tetap seperti ini. Tidak akan berubah.

Lantas ketika lulus pendidikan preklinik, saya sadar saya berubah. Berubah dalam banyak hal. Tetapi saya merasa itu bukan karena pendidikan kedokteran saya. Itu lebih karena aktifitas saya di keorganisasian. Ya, saya memang berusaha menempa diri di bidang itu seperti yang telah saya jelaskan di edisi sebelumnya.

Dan sekarang, setelah pendidikan klinik saya selesaikan. Well. Saya akui saya berubah. Pendidikan klinik benar-benar memberikan sebuah beban baru dan secara luar biasa membutuhkan tanggung jawab. Secara kasat mata kita harus cukup berkompeten terhadap nyawa pasien. Berkompeten artinya kita harus terus menerus meningkatkan kualitas diri.

Tanggung jawab yang lain adalah menemukan spesialisasi diri yang kita bahagia dengannya. Spesialisasi diri ini bukan merujuk pada spesialis (seperti SpA, SpPD dsb) tetapi kekhususan yang kita ingin munculkan dalam keilmuan kita. Ada yang passion nya adalah mengajar. So spesialisasi yang akan dikejarnya adalah mengajar, mungkin menjadi dosen. Ada yang sedari pendidikan preklinik dia suka dengan anatomi. Maka dia akan meneruskan sekolah untuk menggapai sesuatu di bidang anatomi.

Ada pula yang gairahnya adalah berjuang di daerah terpencil. Ada yang obsesinya menjadi bedah tulang. Silakan. Saat kita menemukan spesialisasi diri maka tanggung jawab kita semakin besar untuk meraihnya.

Maka tidak ada alasan tidak berubah. Perubahan diri kita itu adalah sesuatu yang pasti. Saya banyak belajar dari sahabat saya yang punya rasa empati kepada pasien yang begitu besar. Bahkan seperti simpati (ini yang tidak boleh!!). Maka saya berubah. Dan saya tetap menyukai diri saya seperti ini.

Profesi kita penuh tekanan. Dan kita harus bertransformasi menjadi lebih baik untuk menghadapi itu semua. Sekarang saya seperti ini. Siapa yang tahu bagaimana saya setelah menjalani kehidupan residensi (dokter yang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis a.k.a PPDS)? Kehidupan yang diwarnai jaga, stase, tugas ilmiah, tekanan dari senior, detensi, ujian. Tidak mungkin melewati itu semua tanpa perubahan. Semoga kita akan menyukai diri kita nantinya. Begitu juga dengan orang-orang di sekitar kita.

Poin 5: Semuanya Penting.

Mungkin di antara teman-teman pembaca yang pernah sekolah kedokteran masih ingat. Hampir semua dosen di pendidikan preklinik bilang, materi ini penting untuk lulus ujian nasional, atau untuk bekal kalian ko-ass (baca: ko.as, bukan: kowas. Artinya sebutan para sarjana kedokteran yang menjalani pendidikan klinik di Rumah Sakit).

Dan saya dulu tidak percaya. Buat apa kita belajar detil tentang teori EKG (rekam jantung, red) bila kita akan mengambil spesialisasi rehabilitasi medik?

Buat apa kita belajar mengidentifikasi gejala kanker buli, bila kita ingin menjadi seorang spesialis mata?

Itu benar. Namun setelah saya menyelesaikan pendidikan preklinik saya, terutama setelah pendidikan klinik, ternyata untuk menjalani profesi dokter, kita memang membutuhkan semuanya.

Ingat ndak di poin satu kita harus tahu mana yang must to know mana yang nice to know. Itu benar. Tetapi sebagai dokter umum, dan bila kita ingin menjadi dokter yang baik, berkompeten, kita harus menguasai banyak hal. Mungkin kita tidak menguasai semuanya (ada beberapa sahabat saya yang diberi anugerah jaras otak yang lebih clean dan lebih dahsyat baik dalam storing, updating, loading data. Kalau manusia yang seperti ini bolehlah berharap menguasai semuanya. Sekedar informasi, saya bukan manusia yang seperti ini). Tapi karena kita di pendidikan kedokteran dan ingin menjadi dokter yang baik, kita harus berikan usaha yang terbaik.

Sekarang. Karir seorang dokter umum jelas menjadi milik kita. Tidak semua memiliki keistimewaan (langsung sekolah tanpa memikirkan biaya). Maka prinsip “everything may be important, especially for someone in general medicine.” itu harus diakomodasi. Dengan segala keterbatasan kita. Maka saya punya tips.

Bagi yang masih pendidikan klinik. Sebelum stase, usahakan untuk mengintip panduan kompetensi yang diterbitkan KBUKDI. Di sana disebutkan penyakit apa yang masuk dalam kompetensi 4, 3A dan 3B. Pelajari itu. Khusus level kompetensi 4 kuasai semuanya. Mulai dari tanda gejala sampai prognosis. Secara detil.

Bagi yang telah menjadi dokter. Kita harus terus belajar. Internet memudahkan kita. Ada tips dari rekan sejawat kita dalam memilah informasi apa yang perlu dibaca. Tipsnya: jika 1) terdengar metodologis, 2) penting, dan 3) sepertinya bermanfaat bagi populasi pasien kita, bacalah.

Demikian lima hal tentang sekolah kedokteran. Poin-poin di posting ini saya adaptasi dari sebuah blog medstudent. Namun penjelasannya adalah opini saya pribadi berdasarkan pengalaman. Dan telah dikondisikan seperti kondisi sekolah kedokteran di Indonesia.

Terima kasih telah mengikuti tulisan saya.

Link:

Lima Hal Tentang Sekolah Kedokteran, Benarkah?

Lima Hal Tentang Sekolah Kedokteran, Benarkah? (2)

Posted from WordPress for Android