Inilah yang seharusnya jadi maincourse kami. Maksudnya, caving ke Goa Jomblang inilah yang menjadi tujuan utama kami. Goa Jomblang dan Cahaya Surganya.

Goa Jomblang sebenarnya merupakan pasangan dari Goa Grubug. Kedua goa vertikal ini terpisah jarak sekitar 300 meter. Seperti layaknya goa vertikal,  merupakan keunikan tersendiri bahwa untuk menuju mulut goa, kita harus turun dulu menuju mulut Goa Jomblang yang sebenarnya.

Saat ini, Cahyo Alkantana yang telah mengembangkan konsep ekoturisme, telah menjadi operator satu-satunya di Goa Jomblang. Mas Pithik pun menjadi operator tunggal bagi kami yang terdiri dari 15 anak muda yang tidak berpengalaman caving sebelumnya. Untuk baca cerita sebelumnya, klik disini.

Melalui resort Jomblang milik Cahyo Alkantana, jalur turun telah ditetapkan. Ini adalah jalur turun ‘normal’. Dengan jarak turun sekitar 60 meter. Wow!! Jujur saya agak keder juga pertama kali melihat. Badan saya gedhe begini. Hehehe… gimana kalau bapak-bapak yang bertugas menaik-turunkan kami  tetiba kelelahan dan saya bablas ke bawah? Hehehe… tentu tidak. Tenang saja. Tim Cahyo Alkantana telah menetapkan standar safety yang baik.

Goa Jomblang sendiri merupakan dataran yang amblas ke bawah pada jaman purba. Diameter lubang sekitar 50 meter. Sesampainya kita di bawah, kita akan menjumpai hutan purba, yang vegetasinya berbeda dengan dataran di atasnya. Hutan ini bertahan karena sinar matahari masih mampu masuk.

Maka kita akan menelusuri Goa. Berjalan menuju Goa Grubug. Disinilah momen yang dinanti. Goa Grubug merupakan mulut goa yang lebih kecil, dengan diameter sekitar 5 meter. Cahaya matahari yang masuk melalui Goa Grubug inilah yang sering disebut cahaya surga.

Cahaya Surga Masuk Melalui Goa Grubug (10.30)

Goa Grubug sendiri memiliki kisah pahit. Yaitu menjadi tempat pembuangan mayat korban Gerakan 30S/PKI. Bagi beberapa orang mungkin menjadi cerita seram. Tapi bagi kami biasa saja. Hehehe…

Pada masa ketika debit air tidak besar seperti saat kami caving, maka sebenarnya kami dapat menyusur sungai yang berada di dasar Goa Grubug sampai pada suatu kolam yang menjadi awal dari rangkaian aliran air di Goa Kalisuci. Namun sayang, saat kami berkunjung kesana, debit air besar, sehingga sungai pun bergemuruh deras.

Cahaya Surga (11.30)

Cahaya Surga biasanya hadir pada golden hour. Pukul 10.00-14.00. Kami turun Goa pada pukul 09.00 dan tiba di Grubug pada pukul 10.00. Kami bertahan sampai pukul 11.30. Sungguh luar biasa. Di bawah Grubug terdapat batu besar berwarna putih yang cantik sekali. Bergurat dialiri air terus menerus selama puluhan bahkan ratusan tahun. Di sinilah spot berfoto. Meski harus tetap hati-hati karena tetesan air yang deras dimana-mana.

Bayu Praba Dicky Duduk Di Batu Putih Nan Cantik Ditemani Air Bawah Tanah Yang Tak Berhenti Jatuh

Kami juga menyempatkan diri membuat foto siluet. Hehehe… Beragam pose. Namun harus diakui foto siluet Bayu paling oke. Saya seperti melihat Bejita (Tokoh dalam serial kartun Son Goku), atau seperti Kotaro Minami (Satria Baja Hitam). Hehehe…

Pukul 11.30 kami dipanggil untuk menuju mulut Goa Jomblang sembari menunggu antrian naik ke atas. Sementara peserta caving gelombang kedua turun dan menuju Grubug, kami menikmati makan siang kami yang merupakan paket caving di Goa Jomblang senilai 450.000 rupiah. Hemm… nikmat sekali makan di Hutan Purba Jomblang.

Kami Di Mulut Goa Jomblang Menghadap Hutan Purba

Saat naik, sebenarnya kami bertiga ingin mencoba naik sendiri. Tidak ditarik. Namun mas Pithik rupanya tidak berkenan. Hal ini dikarenakan banyaknya peserta caving hari itu, mencapai 32 orang. Sehingga pressure untuk tim operator akan safety semakin besar. Akhirnya kami pun naik ditarik tim operator.

Praba Sempat Memotret Mulut Goa Jomblang Dari atas, Saat Berhenti Di Tengah Proses Naik

Setelah puas melepas lelah, maka kami bersih diri. Fasilitasnya memang lengkap. Jadi nyaman sekali. Dan kami pun meluncur kembali ke Jogja.

Ah, mimpi kami terwujud. Lepas. Liar. Di awal saya menyebutkan inilah seharusnya hidangan utama liburan kami, tetapi sesungguhnya, yang menjadi hidangan utama kami adalah caving di Goa X yang begitu eksotis. Lebih membutuhkan stamina, tantangan yang lebih besar, dan lebih memicu adrenalin tentunya.

Matur nuwun untuk Mas Cetoel dan Mas Kunto. We had great time there.

Catatan: Saya bertanya-tanya apakah sebaiknya,  demi menjaga kelestarian Goa, peserta caving Goa Jomblang dibatasi per hari. 32 orang terlalu sulit untuk diawasi satu per satu. Karena kita awam, maka kadang kita melakukan sesuatu yang merusak tanpa sengaja. Itulah kenapa perlu adanya Guide. Guide kami sendiri saat kami caving sibuk mengontrol naik turunnya peserta, tidak mengawasi peserta ketika di Goa.

Saya juga bertanya-tanya, konstruksi resort Jomblang ini apakah tidak berpengaruh terhadap struktur tanah di atas Goa Jomblang. Hehehe… Yah hanya keingintahuan seorang awam.